" Kamu belum tidur?" Tasya menuruni anak tangganya. Di bawah melihat mamanya baru saja pulang kerja yang menenteng tas jinjingnya berwarna hitam." Tasya gak bisa tidur," balas Tasya dengan wajah lelah," Tasya gak mendengar suara mobil Mama sampek depan rumah. Mama naik ojek online?"
" Pikiran kamu gak fokus sampek gak denger apa-apa. Padahal mobil mama suaranya lumayan berisik."
Tasya mulai membiasakan diri berkomunikasi dengan mamanya. Dulu ada jarak yang tercipta diantar mereka. Jarak itu menciptakan ruang sepi diantar mereka. Rumah nampak tak ada tanda-tanda kehidupan. Walaupun terkadang Tasya merasa bahwa semua yang dirasakannya saat ini adalah kepalsuan yang dipaksa harus ditampilkan olehnya.
" Mama bawa pizza. Tadi mampir sebentar, sengaja beli buat kamu. Dulu kamu suka pizza dengan keju yang lumer meleleh."
" Gak enak Ma, malam-malam makan Pizza. Tasya udah makan mie goreng."
" Mama gak bisa habisin sendirian. Turun, mama tunggu dibawah," balas mamanya.
Tasya akhirnya pasrah ketika mamanya menawarinya pizza. Mau bagaimana pun mencium aroma pizza yang masih angat ditambah lelehan keju mozzarella membuat lidah siapapun menjadi tergoda.
" Mama udah lihat nilai mata pelajaran ekonomi kamu."
Mamanya menunjukan selembar kertas yang didapatnya dari ruang tamu.Tasya menghentikan suapannya. Keju lumer yang menempel dilidahkan dibiarkan begitu saja. Kertas hasil ulangan ekonominya diletakannya diatas meja dan Tasya lupa memasukannya kembali.
" Ekonomi bukan pelajaran yang sulit banget. Bisa-bisanya kamu dapet lima puluh gini. Mama masih gak percaya aja," kata mamanya dengan nada santai tapi berhasil membuat Tasya merasa bersalah dengan ego yang tidak mau mengalah," entah kamu yang malas belajar atau semangat itu yang udah habis. Jangan bingung sama diri kamu sendiri."
" Tasya gak mau rasa peduli itu jadi tanggung jawab mama. Selama ini mama memperdulikan berita baru, tapi tidak pernah mencari tau berita tentang anaknya sendiri. Capek sendirian itu gak enak. Lagian berapun nilai Tasya gak bakalan ngubah kasih sayang Mama ke Tasya."
" Gak ada ibu sejati yang gak pernah memperdulikan anaknya sendiri. Mama membebaskan kamu karena tuntutan mama yang gak bisa ngawasin kamu seutuhnya. Keputusan yang sangat berat, tapi mama selalu yakin kamu bisa melakukan hal-hal yang tidak melewati batas."
" Tasya gak suka dipaksa harus jadi versi seperti mama."
" Mama gak pernah maksa kamu, tapi setidaknya kamu juga harus memperdulikan diri kamu sendiri."
" Gimana Tasya bisa memperdulikan diri Tasya sendiri kalau selama ini Tasya gak tau arti peduli yang sebelumnya."
Tasya menghindari mamanya, membiarkan seporsi pizza yang hanya dimakan satu potong. Rasa pizza yang semula menggugah lidahnya kini hambar tak berasa. Salah satu dari sekian banyak tempat yang tidak Tasya suka adalah meja makan. Sejak dulu meja makan selalu saja menyisahkan nasehat-nasehat yang justru membuat pikirannya semakin kacau.
" Mau kemana? setiap mama pulang kerja kamu selalu saja kabur."
" Tasya capek Ma. Tasya mau ke rumah kaca. Daripada Tasya ngungkapin emosi secara langsung, mending Tasya ngelukis Ma."
Mamanya menarik nafasnya kasar," berhenti melukis kalau kamu masih melukis warna hitam dan putih saja. "
" Kehidupan Tasya cuma ada dua warna. Hidup Tasya terlalu monokrom buat berubah jadi penuh warna."
" Itu tantangan kamu buat warnain lagi warna yang hilang," lirih mamanya," kamu punya hutang buat hal itu."
****
KAMU SEDANG MEMBACA
GOODBYE MY CANVAS! [END]
JugendliteraturTasya harus terlibat masalah di SMA barunya gara-gara gak sengaja jatuhin asbak prakarya di rooftop sekolahnya. Gara-gara itu membuat Ristasya Bestari harus menjadi tawanan Danesh Rahardja, cowok yang terkenal dengan julukan silumannya karena bis...