41.

4 0 0
                                    

Waktu semakin berlalu dengan cepat tanpa orang-orang bisa menduganya. Tasya menutup semua kenangan yang ada pada buku sketsanya berwarna coklat tua. Bunyi knopi pintu terbuka yang memudarkan fokus gadis yang memakai piyama berwarna pink cerah.

" Belum tidur?"

Tasya masih terdiam, kata-kata lama itu kini terngiang-ngiang memutari isi kepalanya.

" Banyak yang harus Tasya selesain," kata Tasya sambil pura-pura membenarkan sketsanya.

" Mama gak mau kamu semakin jauh terbenam dalam duniamu sendiri, sampai kamu lupa ada duniamu yang lain."

Tasya mengepalkan telapak tangannya kuat. Bahkan pensilnya yang semula runcing kini patah dengan serbukan kecil.

" Bukannya dunia Tasya udah mati Ma?"

" Jangan pernah ngelewatin apa yang udah menjadi batasan kamu."

" Batasan itu bukannya memang gak ada sejak dulu?" sindir Tasya.

Titik-titik kecil membasahi selembar kertas putih yang membuyarkan sketsa senyuman anak kecil. Gambar tersebut seolah-olah menggambarkan bahwa tawa adalah sebuah tangis yang sengaja disembunyikan.

" Mama selalu menyalahkan Tasya atas semua kesalahan yang gak seharusnya ada untuk Tasya."

Rasa sesak di dadanya menjalar ke seluruh tubuhnya. Tasya terlihat lemah dan lemas tanpa tenaga. Orang-orang yang seharusnya mencintainya justru malah membuatnya terluka. Tasya sadar bahwa rumah bukannya tempat yang tepat untuk mendapatkan kebahagiaan.

" Mama tau, kamu sangat membenci Mama, tapi mau sampai kapanpun, mama bakalan tetap jadi ibu satu-satunya buat kamu."

Tasya mengusap air matanya. Nada sendu terlihat jelas dari lukisan matanya.

" Ma, bentar lagi tahun baru apakah Tasya gak berhak untuk dapetin kebahagiaan yang baru?"

" Kamu berhak dapetin itu semua."

Tasya menggelengkan kepalanya," Mama bohong. Tasya gak pernah berhak buat dapetin yang namanya kebahagiaan. Apakah Tasya gak akan pernah dapetin itu lagi?"

****
W

aktu memang berputar semakin cepat tanpa ada yang meminta secara paksa untuk berlalu begitu saja. Banyak hal-hal yang berlalu tanpa disadari hingga tak terasa Tasya sudah mau kelas dua belas sekolah pindahannya.

" Lo gak ngerencanain apapun, Sya. Sekarang udah kelas XII mendekati akhir. Gak bisa stuck kaya gini aja, termasuk gue dan lo Saya," ucap Eriss sambil menyeruput coffie miliknya.

Tasya menggelengkan kepalanya," gue gak punya tujuan. Gue pengen ngikutin air yang mengalir aja. Apapun itu gue gak bisa maksamain semuanya. Kadang yang gue rencanain justru berantakan gak sesuai sama ekspektasi gue. Gue terlalu sering berekspektasi sampek akhirnya dikecewakan sama diri sendiri. Mungkin itu alasana gue tetep terlihat gak punya rencana apapun.

" Berekspektasi ternyata memberatkan juga. Gue cuma mau ngingetin tahun depan udah ujian Nasional.Kata orang setelah Ujian Nasional SMA bakalan ngerasain kehidupan yang sebenarnya."

Tasya mengangguk cepat," iya gue tau Riss. Bakalan sering dipaksa buat belajar jadi orang dewasa. Gue gak siap."

" Otak gue gak sampek buat mikirin lagi Sya."

" Lo sendiri?"

Eriss tersenyum ragu dan seolah-olah mengerti apa yang Tasya maksudkan," gue gak niat masuk negri. "

" Apa karena marak kasus Universitas Negri yang duitnya dikorupsi?" balas Tasya cepat," atau duit lo yang kelewat batas?"

" Otak gue gak sampek."

GOODBYE MY CANVAS! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang