Tasya lalu membuka pintu rumahnya. Seperti biasa, sepi tidak ada kehidupan. Suasana yang sudah menjadi hal-hal lumrah dirumahnya. Tapi Tasya merasa mamanya dan dirumah, Tasya memanggil nama mamanya, lalu membuka membuka pintu mamanya. Saraf-saraf indra penciumannya seperti mencium bau sesuatu yang hampir membuat dadanya terasa sesak. Nampak kepulan asap kecil diatas tong besi.
" Ma, kok kaya bau bakaran sesuatu?"
Alangkah terkejutnya Tasya saat melihat setumpuk lukisannya sudah berada tepat di atas tong pembakaran sampah.
" Ma! mama apain lukisan Tasya Ma. Mama, kenapa ngelakuin ini ke Tasya!"
Tasya panik lalu dengan cepat langsung mengambil lukisan yang berada pada pembakaran tersebut. Hanya tersisa setengah saja.
" Ma, semua lukisan Tasya. Kenapa mama ngelakuin ini ke Tasya. Semua lukisan Tasya hilang dalam sekejap. Tasya gak pernah ngizinin mama buat nyentuh lukisan Tasya, malah mama bakar gitu aja.Jawab Tasya Ma!"
" Mama gak mau lagi ngelihat lukisan kamu. "
" Ma, apa yang salah dari lukisan Tasya Ma. Tasya melukis buat yakinin kalau kehidupan Tasya baik-baik aja dengan ngelukis."
" Tapi ngelukis udah buat hidup kamu kaya gini Sya!"
" Kehidupan Tasya baik-baik aja setelah Tasya memberanikan diri untuk mulai melukis lagi Ma."
" Tapi lukisan kamu gak menjamin kehidupan kamu. Mau jadi apa jika kamu menghabiskan waktu untuk melukis. Menjadi seniman gak akan membuatmu kaya!"
Sebenarnya mamanya gak begitu pusing dengan masa depan Tasya. Akan berusaha mendapatkan uang tanpa harus memaksa Tasya bekerja sangat keras di masa depan, tapi soal kenangan bersama lukisan, gak ada yang bisa mengelaknya. Bayang-bayang yang membuat luka semakin tergores dala..
" Ini bukan soal lukisan ma!"
" Melukis warna abu-abu? tanpa warna? karya apa yang kamu banggakan?"
" Ma!"
" Melukis hanya buang-buang waktu kamu!"
Tasya menggelengkan kepalanya," melukis membuat Tasya merasa kakak masih hidup. Mama juga dulu suka melukis. Kenapa mama selalu bohongin diri mama sendiri. Mama dan Tasya sama-sama belajar untuk hidup berdampingan dengan luka yang sama."
" Tasya! kakakmu meninggal juga karena lukisan! kamu harus ingat itu! kakakmu meninggal gara-gara kamu!"
" Tasya gak bunuh kakak ma!"
" Tapi lukisan itu yang udah buat kakakmu meninggal!'
Mamanya menjatuhkan kembali lukisan tersebut tepat diatas api. Tasya menatap pilu lukisannya yang mulai terbakar. Tasya menatap langit penuh tangis. Cahaya kuning yang menghiasi langit tidak mampu membuat Tasya merasa lebih baik. Bahkan temaram yangh semakin gelap semakai8n membuat tangis Tasya semakin jelas terdengar. Bukan salah Tasya ataupun semuanya, namun saat ini mungkin saja Tasya berpikir untuk benar-benar berhenti melukis. Tasya menguspa air matanya, namun semakin lama malah semkain membuatnya semkain ngerasa sesak. Tasya merasa semua usaha yang dilakukannya saat ini sia-sia. Tasya melukis untuk membuat hidupnya semkain hidup, namun ternyata tasay salahj, justru lukisan yang dilukisnya saat ini membuatnya semakin ngerasa gak baik-baik aja.
" Bukan semesta yang jahat, tapi diri ini sendiri," lirih Tasya.
****
Tasya mengusap air matanya. Membiarkan layar ponselnya berdering dengan panggilan masuk. Memilih sendirian di taman yang sepi tanpa orang-orang. Tasya sendirian memeluk malam yang menyakitkan Gak ada yang bisa meyakinkannya kalau semua bakalan baik-baik saja. Mencoba menerima hal-hal yang seharusnya membuatnya ngerasa bahwa Tasya pantas untuk mendapatkan semua hal baik. Dengan sedikit berat Tasya menjawab ponsel tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOODBYE MY CANVAS! [END]
Ficção AdolescenteTasya harus terlibat masalah di SMA barunya gara-gara gak sengaja jatuhin asbak prakarya di rooftop sekolahnya. Gara-gara itu membuat Ristasya Bestari harus menjadi tawanan Danesh Rahardja, cowok yang terkenal dengan julukan silumannya karena bis...