46.

3 0 0
                                    


Nara menarik nafasnya dalam-dalam. Jam dinding masih menunjukkan pukul sebelas malam lewat empat puluh lima menit, menuju lima belas menit pergantian hari.

Ditatapkan berkali-kali, tanggal kalender hari esok. Nara membuka ponselnya, melihat kertas pendaftaran SNMPTN yang menjadi harapan utama baginya. Terlihat dua daftar yang menjadi pilihannya. Menyukai matematika bukan berarti dirinya harus mengambil jurusan kuliah yang berhubungan dengan matematika.

Nara merasa tidak tenang. Jemarinya mengetikan nama Danesh di kolom pencarian telephone.

Danesh tertidur sambil memakai headset di telinganya. Walaupun Danesh kelihatan bandel tapi kalau soal otak jangan ditanya. Mungkin Daneshsuka banget dengan fisika, apalagi yang berkaitan dengan listrik. Cuma kepintaran Danesh itu tertutup sama kelakuannya yang berkali-kali masuk ruang BK karena suka banget jahili pembully yang suka gangguin cewek-cewek di kelasnya. Selain itu dulu Danesh pernah terlihat aksi tawuran dengan SMA Pertiwi yang diketuai oleh Prass.

" Danesh," kata seseorang dari seberang telphone," gue pengen ngobrol bentar."

Danesh yang belum terkumpul nyawanya menjawab asal," mbak tukang urutnya gak jadi. Bapak saya gak mau diurut sama cewek, takut dosa katanya."

" Gue Nara. Bukan tukang urut."

Danesh langsung membuka tampilan layar ponselnya. Segala hal yang berhubungan dengan Nara, Danesh gak boleh mengabaikan dia begitu aja. Tenang hanya sebatas sahabat itu aja gak lebih.

" Iya, Ra. Kenapa?"

Pertanyaan 'kenapa' adalah sebuah kata yang kadang orang hindari.

" Gue takut besok Nesh. Gue takut kalau gue gagal."

Danesh menarik nafasnya panjang," kalau lo gagal. Berarti gue harus gagal juga Ra."

****

" Lo gimana Nesh?" tanya Arga kemudian.

" Coba lagi."

" Gak sedih?" pancing Arga

" Lo sendiri?" tanya Danesh balik.

" Kok nanya gue sih Nesh. Harusnya lo jawab sendiri pertanyaan itu."

" Kan gue gak tau lo lulus apa nggak. "

" Lo gak lihat ekspresi gue kaya gimana?"

" Ekspresi Lo sama aja. Kayaknya dari bayi juga udah kaya gitu bentukannya. Udah template."

" Gue lagi sedih Nesh. Lihat nih muka gue," kata Arga beralasan," lo tau 'kan keluarga gue akademisi, mama dan papa gue dosen swasta.Mereka berharap gue bisa masuk UGM atau UI tapi sepertinya otak gue gak sampek. Gue aja masuk SMA Swasta karena gak jebol masuk negri."

" Udah dibilang antara bahagia dan sedih lo sama aja, gak ada bedanya. Kalau kata kebanyakan orang kuliah dimana aja juga sama aja."

Arga menunjukan pengumumannya," bisa di coret dari KK, kalau papa mama gue tau anaknya gak lulus SNMPTN. Gue curiga kalau gue anak angkat. Kuliah dimana aja cuma omongan orang yang gak mau maksimalin usaha. Mama dan papa gue pola pikir mereka yang kuliah di Top 3 dan bukan itu beda jalan pikirnya. Mama dan Papa gue pinter Nesh. Dua-duanya dosen, dari SMA sampek kuliah sampek jadi dosen bahkan sampek menikah punya anak kaya gue otak mama sama papa masih aja pinter. Cuma kalau grade top 3 PTN gue agak kliyengan juga. Secara gue SMA agak ugal-ugalan gak ngejer prestasi."

" Kegagalan bukan buat disesali."

Arga menarik nafasnya panjang," kadang ya Nesh, jaminan seseorang sukses belum tentu dari otaknya yang cerdas, tapi dari trik-trik menarik buat munculin ide baru. Gue gak khawatir sih Nesh, sekalipun otak gue gak good looking setidaknya muka gue goodlooking."

GOODBYE MY CANVAS! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang