Waktu semakin berlalu dengan cepat tanpa orang-orang bisa menduganya. Tasya menutup semua kenangan yang ada pada buku sketsanya berwarna coklat tua. Bunyi knopi pintu terbuka yang memudarkan fokus gadis yang memakai piyama berwarna pink cerah.
" Belum tidur?"
Tasya masih terdiam, kata-kata lama itu kini terngiang-ngiang memutari isi kepalanya.
" Banyak yang harus Tasya selesain," kata Tasya sambil pura-pura membenarkan sketsanya.
" Mama gak mau kamu semakin jauh terbenam dalam duniamu sendiri, sampai kamu lupa ada duniamu yang lain."
Tasya gemetar menyebabkan pensilnya yang semula runcing kini patah dengan serbukan kecil karena terjatuh dari genggamannya.
" Bukannya dunia Tasya udah mati Ma?"
Titik-titik kecil membasahi selembar kertas putih yang membuyarkan sketsa senyuman anak kecil. Gambar tersebut seolah-olah menggambarkan bahwa tawa adalah sebuah tangis yang sengaja disembunyikan. Rasa sesak di dadanya menjalar ke seluruh tubuhnya. Tasya terlihat lemah dan lemas tanpa tenaga. Orang-orang yang seharusnya mencintainya justru malah membuatnya terluka. Tasya sadar bahwa rumah bukannya tempat yang tepat untuk mendapatkan kebahagiaan.
" Mama tau, kamu sangat membenci Mama, tapi mau sampai kapanpun, mama bakalan tetap jadi ibu satu-satunya buat kamu."
Tasya mengusap air matanya. Nada sendu terlihat jelas dari lukisan matanya," bukannya mama mengajarkan Tasya untuk berdamai dengan masa lalu?"
Orang-orang bisa saja melupakan semua yang terjadi, tapi sebenarnya dirinya masih terikat oleh masa lalu yang selalu memaksa untuk diingat.
" Seandainya harapan itu gak ada? apa kamu tetap nyalahin masa lalu kamu?"
Marissa, wanita cantik berambut sebahu tersebut menggelengkan kepalanya," kamu benar. Mama selalu bohonin kamu. Kamu gak pernah berhak buat dapetin yang namanya kebahagiaan, kecuali kamu tau artinya ikhlas yang sebenarnya."
Tasya menarik nafasnya kasar," ikhlas aja gak cukup buat bahagia Ma. Tapi belajar buat melupakan adalah jalan terbaik."
" Walaupun memaksa?"
Tasya mengangguk pelan," setidaknya itu jalan terkahir yang bisa Tasya lakuin untuk diri Tasya sendiri dan juga masa lalu yang gak bisa balik lagi."
****
" Seperti dalam lukisan," ucap Akasha menyorot kameranya, langit senja yang katanya disukai semua orang. Mereka memilih menikmati senja dengan cerita yang katanya sudah mampir pudar. Mereka berdiri tepat di pembatas danau kecil yang dipenuhi ikan-ikan kecil meminta diberi makan pelet." Kenyataan bikin gue jatuh dalam pikiran gue sendiri. Ternyata isi kepala itu jahat ya Kash. Kaya mau nyalahin diri sendiri tapi gak bisa."
Akasha menjepret kameranya," Kamera bisa menyimpan memori yang gak bisa gue simpan di dalam otak gue."
Akasha berusaha meraih fokusnya, sedangkan Tasya hanya diam tanpa memberikan segaris ekspresi apapun.
Tasya berjalan menuju ujung jembatan menjauh dari Aksaha. Tangan Akasha yang lihai segera membidik Tasya dari samping." Lo curang," kesal Tasya saat Akasha diam-diam memotretnya.
" Gue suka."
" Apanya?"
" Senja" balas Akasha tepat. Rupanya senja mengacaukan isi kepala Akasha," gue gak suka bilang cewek cantik, karena tanpa gue bilang pun semua orang udah tau kalau sewek itu cantik."
Tasya langsung tertawa keras," antara lugu dan gak mau terlihat bodoh."
Akasha menunjukan hasil jepretannya," lo lebih takut sama isi kepala lo sendiri atau kenyataan yang bikin lo gak terima?"
KAMU SEDANG MEMBACA
GOODBYE MY CANVAS! [END]
Teen FictionTasya harus terlibat masalah di SMA barunya gara-gara gak sengaja jatuhin asbak prakarya di rooftop sekolahnya. Gara-gara itu membuat Ristasya Bestari harus menjadi tawanan Danesh Rahardja, cowok yang terkenal dengan julukan silumannya karena bis...