29. Di Atas Kertas

98 49 1.1K
                                    

"Hubungan di atas kertas memang dapat bertahan lama dari ini semua?"

"Hah?! Lo ngapain bawa-bawa nama gue, Ya?"

"Ya Allah, Asia lo kenapa?" sambung Kiyara terdengar khawatir.

Si pemilik suara tidak menjawab ataupun menanggapi Kiyara. Ia hanya menatap kosong sebuah foto yang sedari tadi ada genggamannya itu.

Lama berdiam diri dengan posisinya, akhirnya Asia bangun dari duduk nya itu hingga berjalan menghampiri Kiyara.

"Ra, Mama gue Ra,"

Kiyara memeluk Asia dan menenangkannya melalui usapan tangan pada punggung Asia. "Lo cerita sama gue, ada apa?"

Asia menjauh dari dekapan Kiyara seraya menghapus titik tangis yang ada pada iris matanya.

"Tadi Mama gue pergi dari rumah. Gak tau kenapa, dia bilang gue udah gak sayang lagi sama dia. Padahal, gue berani sumpah gue sayang banget sama Mama gue," jelas Asia tidak ada air mata atau sesenggukan, ia berbicara dengan lugas ketika menjelaskan hal tersebut.

Clarissa muncul dari balik pintu dengan tampang yang dapat di bilang santai, "Udah, Ya. Lo harus sabar! Mama gue juga pisah sama Papa gue. Tapi, ya no problem sih menurut gue,"

"Ye, lo mah emang dasar nya aja cuek. Orang tua pisah, kok malah nyantai sih," sembur Kiyara.

"Kata Mama gue, 'hubungan di atas kertas memang dapat bertahan lama dari ini semua?' ya gue sih, ngapain coba mikirin hal yang gak terlalu penting," imbuh Clarissa dengan tampang yang seperti awal, santai.

"Yang terpenting buat gue adalah uang jajan harus terus ngalir ke saldo gue," lanjutnya.

Clarissa memang selalu menganggap santai perceraian kedua orang tuanya. Karna mereka berdua tetap sama ketika memperlakukan Clarissa, layaknya seorang putri. Walau kedua orangtuanya masing-masing memiliki pasangan tersendiri.

Tapi, satu yang menjadi pertanyaannya, 'Apakah bisa orangtua Asia juga sama seperti orangtua Clarissa?'

"Ying tirpinting intik gii idilih iing jijin hiris tiris ngilir ki sildi gii," Kiyara mengulangi ucapan Clarissa dengan bernada mencibir, mengganti setiap huruf vokal dengan 'i'.

"Ye, Ra. Lo ngapa sensi sih sama gue?"

"Bodo!"

"Adu omong mulu lo berdua, gue kawinin baru tau rasa lo berdua," sahut Dina yang sudah duduk bersandar pada headboard kasur.

Kiyara dan Clarissa sama-sama bergidik ngeri, membayangkan jika mereka nanti melakukan perkawinan.

"Ih, naudzubillah min dzalik gue," batin mereka bersamaan.

"Terus hubungannya sama yang tadi lo bilang 'Ra' apa?" desak Kiyara masih dengan pertanyaannya, sarat akan keinginan tahuan dan juga melupakan tentang perwakinannya itu.

"Dari 'Ra' yang tadi, maksudnya Ralia. Kembaran gue. Dia yang buat gue harus ngalamin ini semua," Asia berdengus secara spontan di akhir kalimatnya.

"Ralia?" tanya nya, lagi. "Oh, iya! Kembaran lo,"

Pengulangan kata tersebut di benarkan oleh Asia.

"Gue boleh tau lebih jauh tentang kembaran lo, Ya?"

                 *BASEBALL BAT*

Di lain sisi, Utara dengan kawan-kawan tengah memasuki waktu istirahat. Mereka semua duduk di kantin dengan berbagai macam jajanan yang tadi sempat mereka pesan.

"Woy, gue tadi gak liat Ayang Kiya. Ayang Kiya gue kemana ya?" tanya Vino sembari merebut mangkok bakso yang tengah di santap Kenzie.

Vino menahan sakit akibat Kenzie yang memukul lengannya.

"Gak tau gue, tadi aja si Asia gak ada tuh," jawab Rasen mengambil alih mangkok bakso dari cengkraman Vino.

Mangkok bakso yang terisi oleh bakso urat tersebut terus saja berubah kepemilikan. Hingga Vino bersuara,
"Sen, lo gak punya duit ya?" bukan menanggapi respon Rasen, Vino malah bertanya balik.

"Punya lah, duit gue banyak, kalo gak percaya tanya aja sama Mang Udin," balas Rasen, menyebutkan nama Ayahnya 'Udin'.

"Kalo banyak duit, kenapa ngambil bakso gue markonah," geram Vino.

"Nyadar diri lo,"

"Lah, ngapain lo ngikut ke pembicaraan kita Zie?"

"Nyadar oy, lo duluan yang ngambil bakso gue,"

"Wah kamu sudah melakukan persu'udzonan Mas," Vino mendramatis macam Ibu yang tersakiti dalam sebuah acara pertelevisian.

"Najis!" ketus mereka bertiga menanggapi Vino.

Vino lagi-lagi hanya dapat memberenggut kesal.

"Lo jadi nembak Asia?" Daffin mengganti topik dengan membicarakan tentang pengungkapan perasaan dari Utara untuk Asia.

Vino, Kenzie, juga Rasen awalnya hanya acuh menanggapi pertanyaan Daffin, namun sekarang mereka  memilih menyimaknya dengan baik.

"Belum tau," Utara menanggapi hal tersebut dengan acuh sambil menyeruput jus mangga miliknya.

"Cewek Butuh Kepastian," Daffin menekankan setiap katanya.

"Gue tau bro, makanya gue gak bisa ngasih tau pasti ke lo. Cowok yang masih ada rasa suka buat cewek yang nanti gue tembak." Utara menepuk bahu Daffin.

Daffin menghempaskan tangan Utara dari bahunya. "Gue gak mungkin rebut Asia dari lo,"

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Daffin segera beranjak dari duduknya. Sebelum ia benar-benar pergi meninggalkan kantin, Utara berujar terlebih dahulu,

"Oh, ya! Congrats buat lo, Pak Olim," Pak Olim, yang di maksud Utara adalah Olimpiade. Ya! Kemarin baru saja Daffin mendapatkan medali emas dari ekstrakurikuler Olimpiade.

"Thanks!"

Tiga sekawan yang sedari tadi sibuk menyimak terdapat satu pertanyaan  dalam benak mereka semua yaitu, 'Utara gak biasanya ada nada sarkastis?'

Nada sarkastis yang mereka maksudkan adalah bernada sarat akan ketidakinginan Utara untuk menjawab setiap pertanyaan Daffin.

                *BASEBALL BAT*

"Gue boleh tau lebih jauh tentang kembaran lo, Ya?" Sudah untuk yang kedua kalinya Kiyara bertanya seperti itu, namun Asia tak kunjung juga memberikan responnya.

"Dan, gue juga pengen tau awal lo pindah ke rumah Nenek lo," Masih dengan tanyanya.

"Iya, gue pengen denger juga dong!" Clarissa menambahkan keingin tahuan Kiyara.

Huft! Asia menghela napas sejenak, lalu, "Oke, jadi.."

The Baseball Bat GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang