5. A little Spark Starts Fire

355 45 3
                                    

Kantor ramai seperti pagi biasanya. Ale berjalan menaiki tangga sembari menenteng tas tangannya. Sesekali dia tersenyum, menyapa rekan pekerjanya. Hingga, dia sampai di mejanya. Dia langsung menoleh pada meja sebelahnya yang penuh dengan berkas dan beberapa pernak-pernik perempuan. Dulu, meja ini selalu bersih, nyaris tidak ada pernak-pernik apapun karena Andra memang tipe laki-laki yang sangat sederhana.

Ale melirik jam tangannya. Sudah hampir waktu masuk kerja. Tidak biasanya Karen belum datang. Satu tangannya menarik kursi lalu duduk. Dia menyalakan notebook karena ada berkas debitur yang harus diselesaikan pagi ini. Karena liburan ke Bali kemarin membuatnya batal menyelesaikan berkas ini, dia harus bergegas sebelum dipanggil pimpinan cabang. 
Tanpa terasa, jam sudah menunjukkan pukul 10 pagi. Ale menoleh lagi ke meja sebelahnya yang masih tidak berpenghuni. Dia mulai merasa tidak tenang. Tangan kirinya meraih ponsel dan mulai menelepon Karen. Beberapa kali terdengar nada sambung, namun tidak juga diangkat. 

Kemana dia? Ale mulai merasa cemas. 

Dia kemudian beranjak dari kursinya, berjalan menuju ruangan human capital. Satu tangannya mengetuk pintu kaca.

“Ada apa, Le?” tanya Fendy, staf human capital yang tersisa di mejanya.

“Ada kabar enggak tentang Karen?”

Fendy mengernyitkan kening. “Bukannya dia ijin sakit hari ini. Kamu tidak tahu?”

“Hah? Sakit?” Kecemasan Ale terbukti. Ada sesuatu yang terjadi dengan sahabatnya itu sejak dari Bali. Dia tampak murung selama dalam perjalanan pulang.

Laki-laki dengan kacamata minus yang sedang mengerjakan laporan itu mengangguk.

“Bisa kirimkan alamat tinggalnya di sini enggak, Fen?”

“OK. Aku kirim ke whatsapp.”

“Thanks ya, Fen.” Ale bergegas keluar dari ruangan human capital dan kembali ke mejanya. Dengan segera, dia mencetak berkas yang tadi dikerjakannya lalu menatanya dengan rapi. Setelah memasukkannya ke dalam map khusus berkas kredit, Ale bergegas membawanya ke ruang sekretaris sembari membawa sekalian tas tangannya. Dia pikir dia harus segera menemui Karen.

Mobil bergerak cepat di jalanan yang cukup ramai. Ale menekan pedal gasnya cukup dalam. Sementara pikirannya melayang pada peristiwa kemarin malam saat dia berpisah dengan Karen di bandara. Berkali-kali, dia menanyakan pada sahabatnya itu untuk mengantarkannya pulang, tetapi Karen terus menolak dengan alasan ingin sendiri. Bara lah yang pada akhirnya membuatnya menyerah memaksa Karen. Bara juga yang meyakinkannya untuk membiarkan Karen menyendiri terlebih dulu. Entah apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka berdua selama dia tidak ada. Dia tiba-tiba menyesal sudah mengiyakan ajakan Abimana.

Setelah berbelok ke area perumahan, Ale menurunkan kecepatan mobilnya sambil sesekali memeriksa alamat yang dikirimkan Fendy tadi. Pandangannya beredar ke beberapa rumah di kanan atau kirinya, hingga akhirnya dia berhenti di depan sebuah rumah kecil tanpa pagar namun sangat asri karena ada beberapa tanaman yang tumbuh di halaman rumah. Cat warna krem membuat rumah semakin terasa hangat. Ale melangkah turun dari mobil lalu berjalan menuju ke pintu depan. Beberapa kali dia mengetuk pintu, hingga akhirnya pintu terbuka. Seorang perempuan berusia sebaya dengan Papanya menatapnya dengan bingung, meski bibirnya mengulum senyum.

“Karen ada, bu? Saya Alessandra, teman kantornya.” Ale langsung memperkenalkan dirinya setelah melihat ekspresi perempuan di depannya.

“Ooh, Ale yang sering diceritakan Karen. Ayo, masuk, nak.” Perempuan yang merupakan Ibunya Karen itu langsung tersenyum ramah dan membukakan pintu lebar.

“Karen sedang demam. Dia tidak mau makan sejak kemarin dan hanya menyendiri di kamar.” Cerita Ibunya Karen sambil terus berjalan masuk ke dalam rumah. Ia lalu menunjuk ke kamar yang menghadap ke ruang televisi.

A Long Way To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang