Beberapa orang tampak hilir mudik, melewati lorong rumah sakit. Ada yang sedang berjalan pelan, langkahnya lunglai. Mungkin, baru saja mendapatkan vonis. Ada juga yang setengah berlari dengan panik. Suara roda brankar yang menggelinding cepat menambah keriuhan di lorong.
Bara berjalan menyusuri lorong dengan wajah kusut. Dia baru saja menyelesaikan operasi. Rasanya ingin sekali pulang karena kantuk yang menyerang, namun dia masih ada jadwal visit ke kamar pasien setelah ini. Dengan lemas, ia membuka pintu ruangannya, berjalan ke wastafel dan membasuh wajahnya dengan air keran. Rasa dingin langsung meresap ke pori-pori kulit wajah. Dia lalu menatap dirinya sendiri melalui cermin di depannya. Wajah yang kusam dan lelah. Sisa-sisa air yang masih melekat di wajah dan rambut, dihapus dengan tisu. Pandangannya masih tertuju pada pantulan wajahnya sendiri. Dia lalu mencoba tersenyum lebar, memasang wajah bahagia, tapi kentara sekali kalau semua itu dipaksakan. Adegan belajar tersenyum itu terhenti saat terdengar suara pintu diketuk. Dengan cepat, Bara mengusap wajahnya dengan tisu lalu berjalan ke mejanya. Ia pikir, pasti perawat yang akan mendampinginya visit.
Namun, ekspresi wajahnya berubah ketika ia melihat siapa yang berdiri di balik pintu."Apakah aku mengganggumu?"
Bara menggeleng lemah. "Masuklah, ren."
Karen tersenyum, lalu mengajak Ibunya ikut masuk juga. Mereka berjalan menuju ke kursi yang berada tepat di depan Bara.
"Ada apa, bu? Ibu merasa sakit?"
Ibunya Karen menggeleng. "Ibu mau menjalani pengobatan seperti yang kamu sarankan, nak. Karen yang meminta Ibu melakukannya."
Seulas senyum mengembang di bibir Bara. Kali ini, tulus. Dia selalu bahagia saat mendengar seorang pasien bersemangat untuk sembuh.
"Bisa merekomendasikan dokter terbaik untuk Ibu?" Tanya Karen. Wajahnya terlihat cemas, tapi dia berusaha menutupinya.
Bara mengangguk. "Aku sudah menceritakan kondisi Ibu pada temanku disini. Jadi, dia sudah siap kapanpun Ibu siap menemuinya."
Sebuah senyuman lega terukir di bibir Karen. Ia menggenggam erat tangan Ibunya. Di dalam hati, dia bersyukur karena ada jalan keluar dari sakit yang diderita ibunya.
"Aku antar sekarang." Bara bangkit dari kursinya. Tangannya meraih jas dokter yang menggantung di gantungan baju.
"Apa tidak merepotkanmu? Perawat tadi bilang kamu ada jadwal visit setelah ini."
"Tidak apa-apa. Hanya sebentar." Bara mengatakannya dengan semangat. Dia lalu mengajak Karen dan ibunya menyusuri lorong, menuju ruangan rekan dokternya yang fokus pada nefrologi. Sesampainya di ruangan rekannya, Bara masuk lebih dulu, lalu ia meminta Ibunya Karen ikut masuk.
"Dokter akan melakukan pemeriksaan lebih lanjut, termasuk lab. Mungkin akan lama." Jelas Bara pada Karen, setelah keluar lagi dari ruang praktek rekannya.
"Apa Ibu akan baik-baik saja?" Wajah cemas Karen semakin terlihat.
"Kita tunggu hasil pemeriksaannya dulu."
Karen menyandarkan punggungnya pada tembok. Ia tidak tahu kalau selama ini Ibu menyimpan sakitnya seorang diri. Dan bagaimana bisa dia tidak menyadarinya selama ini.
"Aku visit dulu. Nanti aku kesini lagi."
Hanya anggukan lemah yang menjadi jawaban Karen. Kepalanya kemudian menunduk, menatap lantai keramik yang sudah sedikit usang.
***
"Aku tidak tahu kalau kondisi ibu sudah seburuk ini." Suara Karen sudah tersengal. Hatinya hancur setelah mengetahui hasil pemeriksaan Ibunya. Nefropati diabetik, penyakit kerusakan ginjal akibat diabetes yang diderita. Kerusakan terjadi pada nefron yang berfungsi menyaring limbah dari darah, atau kelebihan cairan tubuh. Sehingga, jika keadaan ini berlanjut, akan menyebabkan gagal ginjal kronis.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Long Way To You
RomanceKehilangan Andra adalah kehilangan besar bagi Alessandra. Meski dia terus berusaha menyisihkan lukanya, namun dia justru berakhir merindukannya. Hingga, Abimana datang ke dalam hidupnya. Memberi warna baru ke dalam hidupnya dengan cara yang tidak te...