18. Night at Kuala Lumpur

344 57 7
                                    

Kuala Lumpur International Airport ramai selayaknya bandara-bandara internasional lainnya. Beberapa orang tampak hilir mudik dengan membawa koper atau sekedar tas jinjing. Ale berjalan menyusuri selasar menuju ke pintu keluar. Satu tangannya menggenggam ponsel, sementara tangan satunya menarik koper. Pandangannya beredar ke sekitar pintu keluar. Seseorang berjanji akan menjemputnya siang ini. Ia lalu melihat layar di ponselnya, mencari sosok yang wajahnya persis dengan gambar di foto.

“Mbak Alessandra?” Seorang pria dengan suara berat menghampirinya. Ia memakai jaket coklat dan celana jeans. Kepalanya ditutupi topi, persis seperti foto yang ada di ponsel Ale.

“Iya.” Ale mengangguk.

“Ayo, Mbak. Mobil saya di sana.”

Ale mengangguk lagi, lalu menarik kopernya mengikuti langkah pria itu. Dia mengenal pria itu dari salah satu teman kantornya yang sering pergi ke Malaysia. Teman kantornya merekomendasikan untuk menelepon seorang warga negara Indonesia yang kebetulan bekerja di salah satu travel Malaysia. Ale pun setuju karena menurut temannya itu, pria yang biasa disebut namanya Bandi ini, sangat bisa dipercaya. Sesampainya di dekat mobil, Bandi langsung membantu Ale memasukkan koper ke dalam bagasi. Lalu, Ale masuk ke mobil dan duduk di kursi belakang. Setelah itu, Bandi menjalankan mobilnya meninggalkan area bandara.

“Langsung ke alamatnya, Mbak?”

“Iya.” Sahut Ale. Dia sudah mengirimkan alamat yang akan ditujunya sebelum berangkat ke Kuala Lumpur kepada Bandi melalui pesan singkat.

“OK.” balas Bandi sembari melajukan mobilnya menembus highway.

Sementara Ale melihat jalanan Malaysia dari balik kaca mobil. Ini adalah kunjungan pertamanya ke Malaysia. Dan perjalanan yang dilakukannya sekarang adalah sebuah perjalanan penuh tekad dan perjuangan. Otaknya memutar kembali ingatan tentang bagaimana dia memperjuangkannya.

Sore itu, dia duduk di depan ruangan Pak Ilham dengan perasaan campur aduk, antara takut, khawatir, penuh harap, dan sedih. Sudah hampir satu jam dia menunggu Pak Ilham yang masih melakukan zoom meeting dengan pejabat kanwil. Beberapa orang bahkan mulai pulang karena sudah pukul 5 sore. Mulai dari kantor yang penuh dengan pegawai, hingga tersisa beberapa orang yang terpaksa harus lembur karena pekerjaan yang mendesak. Sekretaris Pak Ilham pun, masih setia menunggu atasannya selesai rapat. Awalnya, Ale masih duduk tegak dengan semangat yang cukup kuat untuk menemui Pak Ilham, hingga ia mulai merasa lelah menunggu.

“Sudah selesai, Mbak.” Suara Sarah, sekretaris Pak Ilham, dengan setengah berbisik.

Ale langsung beranjak dari kursinya, melangkah menuju ruangan Pak Ilham. 

Pria paruh baya itu sedang membereskan mejanya, sepertinya akan segera pulang.

“Bisa bicara sebentar, Pak?” tanya Ale dengan penuh harap. Dia tidak ingin ditolak Pak Ilham malam ini, karena dia sudah menunggu hampir 3 jam.

Urgent?” Wajah Pak Ilham tampak lelah.

“Untuk saya, iya.”

“OK. Duduklah.”

Ale tersenyum. Dia lalu duduk di depan Pak Ilham, mengambil napas panjang beberapa kali sebelum mengatakan alasannya menunggu hingga tiga jam.

“Bapak pernah bilang akan memberi saya cuti 1 minggu karena kinerja akuisisi saya sudah tercapai untuk satu tahun ini. Kalau saya mengajukannya sekarang, apa bapak akan menyetujuinya?” Ale mengatakannya dengan ragu-ragu. Di dalam hati, dia berdoa agar semesta ikut membantunya kali ini.

Pak Ilham tidak langsung menjawab. Dia tampak berpikir. Lalu, tangannya meraih kalender dan melihatnya sebentar.

“Minggu depan saja ya, Le. Minggu ini kan masih akhir bulan.”

A Long Way To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang