15. Little Love in Heavy Rain

352 42 2
                                    

Suara alunan musik jazz mengalun pelan dari music player, menjadi pengiring dari suara desisan daging yang bertemu dengan margarin di dalam teflon panas. Aroma daging yang telah dimarinasi saat bercampur dengan margarin menguar di dalam ruangan, masuk ke dalam indra penciuman, lalu merangsang saraf otak untuk memberikan sinyal lapar pada perut yang kosong sejak pagi.

"Kamu bilang, kamu tidak bisa masak?" tanya Ale saat menatap Abimana yang sedang memasak daging tenderloin. Satu tangannya masih memotong-motong sayur yang akan digunakan sebagai pendamping steik.

Sudut bibir Abimana tertarik ke samping. "Cuma bisa ini saja. Kebetulan dulu waktu kuliah pernah kerja paruh waktu di restoran steik."

"Oh, ya? Papa pernah cerita kamu kuliah di luar negeri."

"Student exchange. Aku kuliah di Jakarta."

"Pasti kamu itu tipe-tipe anak pintar."

Senyum di bibir Abimana berubah menjadi tawa setelah mendengarnya. "Tebakanmu salah, Le. Aku justru lebih banyak bolos karena bekerja sana sini atau mengikuti seminar."

"Tapi, kamu bisa ikut student exchange."

"Aku bukan anak textbook. Aku justru melihat sesuatu dari pengalamanku. Bertemu dengan banyak orang, membuat social network, dan dari mereka aku belajar banyak, termasuk mendapat kesempatan untuk study exchange ke Eropa."

Ale beranjak dari barstool, lalu berjalan mendekati Abimana sembari membawa wadah berisi sayuran yang siap untuk direbus. Ia berdiri di samping Abimana, menyalakan kompor lalu mulai merebus air. Matanya melirik ke arah daging yang mulai tampak kecoklatan.

"Aku kira anak orang kaya seperti kamu, tidak akan repot-repot mencari pengalaman." balas Ale sambil memasukkan sayuran ke dalam air rebusan.

"Papa bukan tipe orang yang baik pada anak-anaknya. Justru sangat keras. Papa pada awalnya tidak mau memberikan usaha furniturnya padaku dan ingin aku merintis bisnis sendiri. Karena aku pikir, aku tidak akan bisa merintis bisnis jika tidak mulai dari kuliah, makanya aku mulai membuat jaringan sejak kuliah." Cerita Abimana.

Tatapan Ale berpindah pada Abimana. Matanya menatap lurus pada wajah laki-laki di sampingnya yang tampak serius meski hanya sedang memasak daging. "Berat ya, pasti?"

"Berat awalnya. Karena aku menghabiskan uang saku dari Papa untuk membuat usaha dengan teman-teman kuliah, aku pernah tiap hari makan mie instan atau nasi kucing selama hampir satu tahun. Tapi setelah usaha itu mulai menunjukkan hasil, aku bisa menyewa ruko dengan teman-temanku dan mengembangkan usaha."

Bibir Ale tersenyum mendengarnya. "Dari dulu, kamu itu pantang menyerah."

"Kenapa harus menyerah kalau kamu bisa melihat masa depan yang indah di depan matamu?"

"Nice quote." Gumam Ale. Dia pun setuju dengan ucapan Abimana. Kenapa harus menyerah pada masa depan yang bisa saja sangat indah? Bukankah kita tidak pernah tahu seperti apa masa depan kita? Setidaknya kita bisa melakukan hal terbaik di masa sekarang, sehingga masa depan kita juga ikut baiknya. Mungkin, yang Abimana katakan sejak awal memang benar. Langit tidak mungkin tiba-tiba menurunkan hujan, tetap ada proses alam sebelumnya. Tidak ada orang yang tiba-tiba bahagia, tanpa menyiapkan kebahagiaannya sendiri sebelumnya.

"Le, itu sayurnya udah overcooked." Ucapan Abimana menggugah Ale dari lamunannya. Dia dengan cepat mengambil wadah untuk meniriskan sayur dari air rebusan.

"Kamu bisa mandi dulu, bi. Aku akan siapkan piring makannya." Ale mulai meletakkan sayuran di empat piring yang sudah disiapkannya. Ia menatanya secantik yang biasanya ia pelajari dari channel Youtube.

A Long Way To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang