Alunan suara Frank Sinatra yang sedang menyanyikan lagu 'Fly me the moon' mengalun lembut di telinga Alessandra, menemaninya mengerjakan berkas kredit yang menumpuk menjelang akhir bulan. Deretan angka angka tampak di layar notebook, membuatnya harus benar-benar fokus, karena salah sedikit saja di awal, akan berpengaruh di hasil akhirnya.
Senggolan lembut di lengannya, membuatnya berpaling dari layar notebook, lalu melepas earbuds yang menempel di telinganya.
"Mau ikut ke rooftop?" tawar Karen. Wajahnya sudah sama kusutnya dengan Ale. Jenis wajah marketer bank di minggu minggu yang mendekati akhir bulan penilaian. Saat semua target harus diselesaikan. Saat semua orang berusaha untuk tidak jadi bulan-bulanan pemimpin wilayah di awal bulan.
Ale menggeleng. "Ntar aja aku susul kalo udah selesai."
"OK." Karen akhirnya berlalu meninggalkan mejanya. Layar notebook nya sudah mati, namun tumpukan berkas kreditnya tentu saja masih menggunung. Banyak pekerjaannya yang terlantar selama ini karena kondisi hatinya yang sedang tidak bagus. Setelah melihat sekilas ke meja Karen, Ale memasang lagi earbuds-nya dan melanjutkan pekerjaannya. Dia harus segera menyelesaikannya, agar bisa segera pulang juga.
Namun, pekerjaannya terinterupsi lagi saat ponselnya tiba tiba berdering. Nama Fendi, supervisor Human Capital, tertera di layar.
"Bisa ke ruanganku sebentar, Le?" Tanpa berbasa basi, Fendi langsung mengatakan tujuannya menelepon, sesaat setelah telepon diangkat.
"Harus sekarang? Aku masih mengerjakan neraca."
"Sebentar, kok."
"OK."
Ale menyerah. Dia menutup teleponnya, melepas earbuds dan mengembalikan pada tempatnya. Setelah menyimpan filenya, dia akhirnya beranjak dari kursinya, menuju ke lantai 3. Langkah kakinya cepat menaiki tangga, menuju ke ruangan kubikel berdinding kaca. Ada papan bertuliskan 'Human Capital' di dekat pintu. Satu tangan Ale mengetuknya, sebelum melangkah masuk. Tidak ada orang lain, selain Fendi di dalam.
"Sini, Le! Aku mau kasih tahu sesuatu."
Fendi lalu mengulurkan selembar kertas setelah Ale duduk di depannya. Tatapan Ale tertuju pada selembar kertas itu, sembari mencernanya.
"Bagaimana? Ini kesempatan bagus. Apalagi Pak Ilham merekomendasikan kamu."
Ale terdiam sejenak. Ada banyak hal yang harus dipikirkannya sebelum memutuskan untuk mengambil kesempatan promosi ini.
"Ada berapa orang?"
"Masih kamu yang tahu. Pak Ilham ingin kamu tahu dulu. Lumayan kan, apalagi kemungkinan besar kamu bisa ditempatkan di sini."
"Mungkin. Tapi, bagaimana kalau di Jakarta atau Mataram?" Gumam Ale. Dia tahu kalau itu adalah resiko yang harus diambil, bersamaan dengan kesempatan yang datang.
Fendi pun hanya bisa mengangkat bahu, karena itu di luar batas kemampuannya.
"Aku bicarakan dulu dengan suamiku." Ale kemudian beranjak dari kursi sembari membawa selembar kertas yang diberikan Fendi. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pintu, namun langkahnya tiba tiba terhenti. Dia lalu menoleh lagi pada Fendi. "Boleh aku merekomendasikan seseorang?"
"Siapa?"
"Karen."
"OK. Aku tunggu jawaban kalian besok pagi."
Ale setuju. Dia lalu berjalan ke luar ruangan, namun tidak lagi kembali ke mejanya. Dia sedang membutuhkan tiupan angin untuk menyegarkan kepalanya. Kakinya melangkah perlahan, menaiki satu persatu anak tangga, hingga akhirnya sampai di ujung tangga. Satu tangannya mendorong pintu, lalu seketika hembusan angin menerpa wajahnya. Matanya menemukan Karen yang sedang duduk di bangku besi, dan sedang memandang kosong pada pohon besar yang mulai mengering.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Long Way To You
RomanceKehilangan Andra adalah kehilangan besar bagi Alessandra. Meski dia terus berusaha menyisihkan lukanya, namun dia justru berakhir merindukannya. Hingga, Abimana datang ke dalam hidupnya. Memberi warna baru ke dalam hidupnya dengan cara yang tidak te...