Deretan bunga mulai bermekaran, mulai dari daisy hingga mawar. Ale tersenyum lebar melihat taman belakang rumahnya mulai penuh dengan bunga. Sejak beberapa minggu ini, dia lebih suka menghabiskan waktu akhir pekannya untuk berkebun di belakang rumahnya, seperti sabtu ini. Kemarin sore, dia sengaja membeli tanaman bunga adenium untuk melengkapi koleksi di belakang rumah.
"Tanaman baru, Le?"
Ale menoleh ke arah suara, lalu tersenyum lebar saat melihat Papanya yang berdiri di teras belakang.
"Iya. Bunganya cantik." Ia bangkit setelah selesai memindahkan bunga adenium ke dalam pot yang sudah disiapkannya. Tangannya tampak kotor karena tanah dan pupuk.
"Hari ini kamu ada acara?" tanya Papa yang dijawab gelengan olehnya.
"Mau ikut Papa?" Papa bertanya lagi.
"Kemana, Pa?" Ale malah balik bertanya, sembari mencuci tangannya di keran air yang biasa digunakan untuk menyiram bunga.
"Pras kan pulang dari Malaysia sejak minggu kemarin. Hari ini kita diundang kesana untuk makan malam sekalian menginap di sana."
Ale tidak langsung menyahut. Otaknya sedang berpikir, makan malam di rumah Om Pras berarti makan malam di rumah Abimana yang di Magelang. Jauh di dalam hatinya, ingin sekali dia menolak Papanya. Tapi, dia kemudian teringat ucapan Bara saat di Bali. Dia tidak boleh lagi menjadi anak egois, yang tidak memikirkan perasaan Papanya.
"Berangkat jam berapa, Pa?" Ale akhirnya memilih untuk mengiyakan ajakan Papanya, dengan satu alasan. Dia ingin membahagiakan Papanya.
"Setelah ini saja. Kamu siap-siap, ya."
Papa hendak berjalan masuk ke dalam rumah, saat Ale menghentikannya dengan pertanyaan, "Bara tidak ikut?"
"Katanya dia ada janji nanti malam."
Janji? Seingatnya, Bara tidak memiliki teman dekat untuk diajak janjian di akhir pekan seperti ini selain dirinya, batin Ale. Namun, dia segera menghapus pikiran itu. Seharusnya dia senang ketika Bara akhirnya membuka dirinya pada orang lain.
Ale akhirnya berjalan menaiki tangga menuju kamarnya. Jika menginap di sana, itu berarti dia harus menyiapkan pakaian ganti. Dia membuka lemari bajunya dan mulai memilih baju yang bisa dipakai di sana. Namun, dia berhenti saat hendak memasukkan baju ke dalam koper. Ia menatap sejenak ke dalam koper yang masih kosong. Ada sesuatu yang mengusik hatinya.
Benarkah yang akan dilakukannya sekarang? Apakah ini adalah salah satu jalan Tuhan untuk membantunya membuka hati pada orang lain? Tetapi, dia benar-benar takut jika pada akhirnya dia tidak bisa membuka hatinya. Karena itu berarti, dia akan menyakiti banyak orang.
Kedua tangannya mengusap wajah dengan kasar. Dia kemudian berjongkok di samping tempat tidur. Kedua sikunya bertumpu pada tempat tidur, sementara telapak tangannya masih menutupi wajah. Dia bingung harus bagaimana. Di satu sisi, dia tidak ingin menyakiti Papanya, namun dia pun juga tidak bisa memberikan harapan pada Abimana, yang mungkin saja tidak bisa dia lakukan.
Suara dering ponsel menggugahnya dari lamunan. Dia menoleh pada ponselnya yang tergeletak di meja nakas. Ada nama Bara tertera di layar. Ale meraihnya dan menggeser layar.
"Ada apa, Bar?"
"Kamu ikut Papa, kan?"
"Kamu ingin memastikan aku tidak akan menyakiti Papa dengan menolaknya?"
Bara diam. Hanya terdengar tarikan napas, lalu dihembuskan.
"Aku tahu kok, Bar. Aku tidak akan jadi egois lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Long Way To You
RomanceKehilangan Andra adalah kehilangan besar bagi Alessandra. Meski dia terus berusaha menyisihkan lukanya, namun dia justru berakhir merindukannya. Hingga, Abimana datang ke dalam hidupnya. Memberi warna baru ke dalam hidupnya dengan cara yang tidak te...