19. A Path Before Marriage

374 57 9
                                    

Beberapa orang tampak bercengkerama dan sesekali tertawa di meja makan yang luas. Sajian makanan memenuhi meja. Acara lamaran sederhana yang disiapkan dalam waktu satu minggu akhirnya berjalan lancar. Sekarang, di jari manis Ale, ada sebuah cincin emas yang melingkar indah dengan batu berlian kecil di bagian tengah. Juga, nama Abimana yang terukir di dalamnya.

“Cie, yang akhirnya jari manisnya nggak kosong.” Goda Karen pada Ale yang langsung tersenyum sumringah. Dia mengacungkan jari-jarinya dan menatap pada cincin berlian yang melingkari jari manisnya. 

“Nggak gampang ini. Harus mengiba-iba dulu ke Pak Ilham supaya bisa pergi ke Malaysia.” Bisik Ale. Dia teringat saat mengumpulkan seluruh keberaniannya untuk datang ke Malaysia, mengungkapkan isi hatinya pada Abimana, dan membawa laki-laki itu pulang ke Jogja untuk melamarnya.

“Aku tahu. Tapi, rasanya terbayar karena akhirnya kamu tinggal selangkah lagi menjadi Nyonya Abimana Prastawa.”

Ale setuju dengan ucapan Karen. Ya, hanya perlu menjalani beberapa bulan lagi, sampai akhirnya berada pada titik pernikahan dengan Abimana. Sebenarnya, Abimana ingin agar waktunya dipercepat, namun Ale menolaknya. Dia ingin mengurus semua urusan pernikahannya sendiri dan tidak menyerahkan seluruhnya pada wedding organizer.

“Minum dulu, ren.” Bara tiba-tiba muncul dengan membawa botol air mineral dan mengulurkannya pada Karen, yang langsung menerimanya dan meminumnya sedikit.

“Hmm. Cuma Karen saja yang dibawain? Aku enggak?” goda Ale yang membuat Karen langsung tersenyum malu. 

Sementara Bara hanya menunjukkan ekspresi datar dan berkata, “itu minta tunanganmu bawain.”

Ale memasang wajah kesal mendengar respon Bara, meski sesungguhnya dia sangat berterimakasih pada laki-laki itu. Berkatnya, sekarang dia bisa bertunangan dengan Abimana. Kalau dulu, Bara tidak memulai semua ini, mungkin dia masih murung sampai sekarang.

“Thanks ya buat kalian berdua. Tanpa kalian, mungkin aku belum tunangan sekarang.” Ucap Ale kemudian, membuat Bara dan Karen langsung menoleh dengan ekspresi bingung.

“Memangnya apa yang aku lakukan, Le?” tanya Karen.

“Kamu enggak pernah capek nasehatin aku. Nemenin aku nangis.”

Karen malah tersenyum mendengarnya. Dia lalu menepuk pundak Ale lembut. “Aku justru lebih banyak berterimakasih sama kamu.”

“Drama banget, Le. Kamu bisa sampai di titik ini juga keputusanmu sendiri.” balas Bara.

Ale hanya tersenyum saja menanggapinya. Meski semua ini adalah keputusannya sendiri, tapi tanpa mereka, mungkin dia juga tidak akan mengambil keputusan itu.

“Ya udah kalian lanjut saja. Aku mau deketin tunanganku dulu.”

“Hmm, yang udah tunangan. Nggak mau jauh-jauh.” Goda Karen yang langsung membuat Ale tertawa. Dia lalu beranjak dari bangku besi di teras belakang dan berjalan pelan menuju ke meja makan. Abimana dan keluarga besar sedang bercengkerama di sana.

“Kamu mau pulang kapan?” tanya Bara sembari duduk di bangku yang tadi diduduki Ale.

“Bagaimana kalau sekarang? Aku khawatir dengan Ibu.”

“OK.” Bara akhirnya beranjak dari kursi yang baru didudukinya. Dia lalu berjalan masuk ke dalam ruangan, berpamitan dengan seluruh keluarga. Karen pun melakukan hal yang sama.

“Aku antar ke depan, ya.” Ale pun akhirnya beranjak dari kursinya, menggandeng Karen yang berjalan ke depan.

“Aku senang kalian semakin dekat satu sama lain.” Ale mengatakannya dengan setengah berbisik. Dia tidak ingin Bara mendengarnya.

A Long Way To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang