30. Beautiful Sunset

353 49 3
                                    

Suara deburan ombak terdengar dengan jelas di dalam kamar yang sepi. Laut terus mengirimkan gulungan ombaknya dan berkali-kali membentur dinding tebing, lalu memecah menjadi buih-buih. Angin malam pun berhembus cukup kencang, menerbangkan rambut yang dibiarkan terurai. Genggaman Ale erat pada pagar kayu yang menjadi pembatas balkon. Pandangannya lurus pada laut yang gelap, sama gelapnya dengan langit yang enggan menunjukkan keindahan bintangnya. Ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya sejak beberapa waktu lalu. Sebuah pesan singkat yang diterimanya kemarin dari kantornya. Isyarat jika dia akan dimutasi ke kantor lain dalam waktu dekat. Tentu saja ini adalah efek dari pembatalannya mengikuti rekruitmen beberapa waktu lalu. Perusahaan selalu menuntut pegawai untuk berpindah jabatan setelah tiga tahun menempati jabatan yang sama. Dan hal terburuk baginya adalah berpindah kota.

Sebuah pelukan di pinggangnya membuatnya tergugah dari lamunan. Dia berusaha untuk tersenyum, menutupi kerisauannya dari suaminya.

“Kenapa kamu tidak tidur?” bisik Abimana di dekat telinga Ale. Kentara sekali, dia masih sangat mengantuk. Mereka baru saja sampai di hotel tiga jam yang lalu.

“Aku tidak bisa tidur.” balas Ale. Tangannya menggenggam tangan suaminya yang melingkar di pinggangnya.

“Ada yang kamu pikirkan?” 

Ale hanya menggeleng. Dia pikir, dia tidak perlu menceritakannya dulu pada suaminya karena dia juga belum tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Dia tidak ingin menambah beban pikiran suaminya untuk sesuatu yang bisa diselesaikannya sendiri.

“Memangnya kamu tidak capek? Kamu juga harus banyak istirahat, Le.”

Ale membalikkan badan, menghadap suaminya. Matanya menatap lekat mata suaminya yang setengah terpejam. Wajahnya pun tampak lelah. Rencana liburan ke Bali yang tiba-tiba ini membuat Abimana harus menyelesaikan pekerjaan yang rencananya akan dilakukan di akhir pekan. Ale kemudian menangkupkan kedua tangannya di pipi suaminya. Bibirnya masih berusaha tersenyum, seolah-olah tidak ada yang membebani pikirannya.

“Aku cuma ingin menikmati malam di tepi pantai, mas. Tidurlah dulu. Aku akan menyusul setelah ini.”

Abimana yang sekarang menggeleng. “Aku temani kamu kalau gitu. Mau sesuatu yang hangat mungkin?”

“Hmm. Selalu, deh. Ya udah, kita tidur ya. Kamu juga capek.” Ale akhirnya mengalah. Dia merangkul pinggang suaminya, mengajaknya masuk ke dalam kamar. 

Saat di tempat tidur pun, Ale masih tidak bisa memejamkan mata. Dia memandang wajah suaminya yang sudah terpejam.

“Masih tidak bisa tidur juga?” tanya Abimana dengan mata terpejam. 

“Hmm.”

Abimana kemudian menggeser tidurnya, memeluk tubuh istrinya dengan erat. Satu tangannya mengelus punggung istrinya dengan lembut.  “Kalau gini, udah nyaman?”

Hanya sebuah senyuman yang menjadi jawaban Ale. Dia meletakkan kepalanya di dada suaminya, mendengarkan irama detak jantung yang teratur. Hingga, lama kelamaan dia pun juga ketiduran.

_***_

Senja selalu menjadi potret terbaik langit saat akan mengucapkan salam perpisahan pada matahari. Semburat kemerahan yang bercampur dengan langit yang mulai gelap, tampak kontras namun menakjubkan. Apalagi, jika warna indah itu memantul pada air laut. Seperti cermin yang bergabung pada satu garis horizon. Sangat memanjakan mata.

Angin bertiup lebih kencang dari sebelumnya, karena hari beranjak mendekati malam. Namun, Ale dan Abimana masih betah duduk di bibir pantai, memandangi keindahan langit, sembari mengagumi Sang Penciptanya.

“Menurutmu, seperti apa senja?” tanya Ale tiba-tiba. Pandangannya masih lurus ke depan. Sejak langit mulai memerah, dia tidak memindahkan pandangannya sama sekali dari keindahannya.

A Long Way To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang