Tetesan hujan masih tersisa di ujung-ujung atap, menetes ke tanah, dan membuat genangan kecil yang berderet di dekat lantai keramik. Oktober selalu menjadi bulan dimana hujan mulai sering turun dan bertahan lama.
Ale menatap ke arah awan mendung yang menggantung sempurna di langit abu-abu. Meski, hujan sudah turun dengan lebat beberapa jam lalu, tapi langit seakan masih memiliki banyak stok hujan di dalam awan gelap itu. Mungkin, langit sedang rindu-rindunya pada bumi.
Secangkir kopi panas berada di genggamannya, memunculkan asap putih tipis di antara hawa dingin yang mulai menusuk kulit. Ale menyesap sedikit kopi hitam di tangannya. Rasa pahit yang berubah menjadi masam, lalu sedikit manis mulai terasa di lidahnya. Ia lalu meletakkan cangkir di meja, kemudian menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Ingatannya membawanya pada peristiwa bulan lalu di depan rumahnya. Entah kenapa meski hari terus berjalan dan bulan sudah berganti, dia tetap tidak bisa melupakan ucapan Abimana malam itu.
"Le, kalau kamu masih belum bisa mencintaiku, tidak apa-apa. Biar aku saja yang mencintaimu. Jangan pernah merasa terbebani dengan perasaanku." Kalimat itu terus terulang-ulang di pikirannya. Dan sampai saat ini, dia masih tidak bisa memberikan jawaban apapun pada laki-laki itu.
"Melamun apa, Le?"
Refleks, Ale menoleh ke arah suara yang sangat dikenalnya. Ia tersenyum lebar, untuk menutupi kegalauan yang menyelimutinya.
"Lihat hujan."
"Hujannya sudah berhenti."
Ale hanya meringis. Hujan memang sudah berhenti. Dan dia ketahuan berbohong.
"Ini kentang gorengnya masih hangat." Abimana menyorongkan piring berisi kentang goreng yang masih mengeluarkan uap panas. Sejak setengah jam yang lalu, memang dia sibuk sendiri di dapur menggoreng kentang frozen di lemari pendingin.
Ale mengambil satu, lalu meniupnya pelan sebelum menggigitnya. "Enak."
Tawa Abimana langsung terdengar. "Cuma goreng aja, Le. Pasti enak lah. Udah jadi dari pabrik."
Kali ini, Ale ikut tertawa. "Ayo ikut makan, bi!" Abimana akhirnya ikut mengambil kentang goreng dan memakannya. Mereka menikmati secangkir kopi dan sepiring kentang goreng, di sela-sela dinginnya sore setelah hujan mengguyur deras.
"Besok aku akan ke Magelang. Kamu mau ikut?" tanya Abimana tiba-tiba.
"Ada acara?"
Abimana mengangguk. "Peringatan setiap tahun meninggalnya Vallerie."
Pandangan Ale langsung tertuju pada laki-laki di sebelahnya. Ia menemukan wajah sedih yang langsung tersirat. Kehilangan kakaknya mungkin adalah kehilangan terbesar baginya.
"Boleh aku bertanya, bi?"
"Hmm?"
"Kapan kakakmu meninggal?"
"Sekitar lima tahun lalu. Kecelakaan pesawat. Jakarta – Singapura." Suara Abimana terdengar sedih saat mengatakannya. Siapapun akan bersedih ketika kehilangan keluarga mereka. Ale memilih diam dan mendengarkan.
"Waktu itu, dia baru saja menemuiku yang sedang berada di Jakarta. Dia bilang dia merindukanku, makanya terbang ke Jakarta. Ternyata, dia hanya mencari penghiburan setelah perceraiannya," lanjut Abimana. Tangannya tertangkup seakan sedang menahan perasaannya.
"Kalau saja waktu itu aku mengalah dan pergi menemuinya lebih dulu di Singapura, mungkin dia tidak akan naik pesawat itu." Suara Abimana semakin terdengar bergetar, membuat Ale merasa bersalah karena menanyakannya dan membuka lagi kesedihan Abimana. Ia lalu mengulurkan tangannya, menepuk punggung tangan Abimana pelan, untuk menenangkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Long Way To You
RomansaKehilangan Andra adalah kehilangan besar bagi Alessandra. Meski dia terus berusaha menyisihkan lukanya, namun dia justru berakhir merindukannya. Hingga, Abimana datang ke dalam hidupnya. Memberi warna baru ke dalam hidupnya dengan cara yang tidak te...