Sebuah pelukan selalu bisa meredam seluruh rasa. Amarah yang kuat pun akan runtuh dengan sebuah pelukan hangat dari orang tercinta. Kadang, sebuah pelukan juga menjadi satu-satunya hal yang dibutuhkan di saat terburuk dibandingkan ribuan kata yang diucapkan. Dan dengan sebuah pelukan, seluruh hati yang patah akan merekat kembali.
Yang terjadi sekarang adalah sebuah pelukan mampu menjadi peredam rindu yang terpendam selama beberapa hari. Ale tersenyum lebar ketika berada di pelukan Abimana setelah tiga hari terpisah jarak Jogjakarta – Malaysia.
“Kangen banget ya?” Abimana mengatakannya, masih dengan memeluk Ale. Ia pun juga rindu karena ini adalah pertama kalinya mereka tidak bertemu lebih dari satu hari setelah menikah.
“Bangeeett. Makanya sekarang pengennya meluk kamu terus.” Ale masih bermanja-manja di pelukan Abimana.
Mereka berdua duduk di sofa tengah dan masih dengan adegan saling memeluk, meski Abimana sudah datang sejak beberapa jam yang lalu.“Semalam tidur sendiri, ya?”
“Hmm. Cilla sudah dijemput Mama dari pagi. Dan Karen juga tidak bisa menginap karena harus lembur sampai malam.” Ale mengatakannya dengan berpura-pura berwajah sedih. Kepalanya mendongak menatap suaminya, menunggu responnya.
“Maaf, ya. Habis ini nggak ditinggal-tinggal lagi.”
“Habis ini, aku ikut kamu saja.”
Abimana tertawa mendengarnya. “Kamu kan kerja.”
Ale tidak langsung menyahut. Dia meregangkan pelukannya, hingga akhirnya terlepas. Apa yang baru saja dikatakan Abimana membuatnya mengingat kembali apa yang sudah dipikirkannya selama beberapa hari ini.
“Sebenarnya, aku berpikir untuk berhenti bekerja.” Ucap Ale dengan suara lemah. Dia tidak lagi memeluk suaminya, dan hanya bersandar di sandaran sofa. Matanya menatap ke arah lampu gantung yang menggantung di langit-langit ruangan.
Alis Abimana mengerut. Dia tidak pernah tahu kalau istrinya berpikir sejauh itu setelah terjadi peristiwa menyedihkan itu.
“Sebentar… sebentar.” Abimana menggeser duduknya, sehingga sekarang menghadap istrinya. “Sejak kapan kamu berpikir begitu? Lalu, bagaimana dengan tes yang kemarin? Kamu tidak cerita apa-apa.” Ekspresi wajahnya tampak serius, membuat Ale merasa tidak enak. Dia lalu menegakkan duduknya dan menggeser badannya sehingga bisa berhadapan langsung dengan suaminya.
“Beberapa hari yang lalu, Fendi meneleponku. Dia bilang aku lolos untuk mengikuti tes selanjutnya di Jakarta. Tapi, aku…mengundurkan diri.” Ale berhenti sejenak sebelum mengatakan kalau dia mengundurkan diri dari promosi itu. Ia menelan ludah dan menarik napas panjang. “Aku pikir itu keputusan yang terbaik.”
Abimana tidak mengatakan apapun. Dia hanya menatap lekat pada wajah Ale, mencoba mencari tahu yang sebenarnya dari matanya. Karena seperti yang banyak orang bilang, satu bagian tubuh yang tidak bisa berbohong adalah mata.
“Kamu masih menyalahkan dirimu sendiri dengan peristiwa waktu itu? Kamu masih berpikir kalau itu tidak akan terjadi jika kamu tidak berangkat ke Jakarta?” tanya Abimana kemudian.
Ale menunduk. Di dalam hati, dia membenarkan apa yang dikatakan suaminya. Sempat terbesit di dalam pikirannya, kalau semua itu adalah kesalahannya. Kadang, dia berandai-andai, kalau saja dia tidak terlalu sibuk dengan pekerjaannya, atau paling tidak, sedikit saja mengurangi obsesinya dengan karir, mungkin hal buruk itu tidak akan terjadi. Mungkin, Athallah juga masih hidup di dalam kandungannya sekarang.
Sebuah sentuhan lembut di punggung tangannya, membuat Ale mengangkat kepalanya. Dia menemukan suaminya sedang menatapnya dengan lembut. Sentuhan lembut tadi, berubah menjadi genggaman yang erat. Hangat dan terasa intim.
![](https://img.wattpad.com/cover/265560817-288-k954368.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
A Long Way To You
RomantizmKehilangan Andra adalah kehilangan besar bagi Alessandra. Meski dia terus berusaha menyisihkan lukanya, namun dia justru berakhir merindukannya. Hingga, Abimana datang ke dalam hidupnya. Memberi warna baru ke dalam hidupnya dengan cara yang tidak te...