1. Aku (Tidak) Baik Baik Saja

1.5K 70 4
                                    

Langit cerah. Matahari bersinar sangat terang meski jam masih menunjukkan pukul 7 pagi. Sinarnya hingga masuk ke dalam kamar melalui celah-celah jendela yang tidak tertutup tirai. Di sudut ruang kamar, sebuah kaca besar memantulkan bayangan seorang pengantin perempuan dengan balutan kebaya warna putih. Rambutnya disanggul dengan gaya pengantin Jogjakarta. Keningnya dilukis khas paes Jogja, dan sebagian rambutnya tertutup rangkaian bunga melati.

Pengantin perempuan itu nyaris tidak percaya melihat dirinya sendiri. Dia menggerakkan tangannya, menyentuh pantulan bayangannya di kaca. Di dalam pikirannya, dia berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi.

Bagaimana pada akhirnya dia bisa menikah hari ini.

"Ale, kamu sudah siap?"

Pintu kamar terbuka. Seorang perempuan dengan kerudung putih muncul dari balik pintu. Dia berjalan mendekati dan mengulurkan tangannya. "Yuk, tante antar ke ruanganmu."

Ale mengangguk saja, menerima uluran tangannya. Berjalan perlahan karena gerak kakinya terbatas akibat kain jarik yang membalut kakinya. Di luar kamarnya, ada beberapa orang yang tampak tersenyum melihatnya. Rumahnya benar-benar ramai dengan saudara-saudaranya dari jauh. Dia lalu diminta duduk di bagian belakang rumah. Sekilas, dia bisa melihat beberapa orang tampak duduk berhadapan di satu meja yang diletakkan di bagian tengah ruang tamu. Ada seorang pria yang memakai baju senada dengannya, namun Ale tidak sempat melihat wajahnya karena posisinya yang memungginya.

Lalu, terdengar suara orang dari pengeras suara. Acara ijab qobul akan dimulai. Entah kenapa, Ale merasa jantungnya berdegup tidak beraturan dan sangat cepat. Dia sampai meremas-remas jemarinya, saking tegangnya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Alessandra Ishtar Ibrahim binti Osman Ibrahim dengan mas kawin tersebut tunai."

Terdengar suara tegas dari ruang tamu. Setelah itu, orang-orang menyerukan 'Alhamdulilah'. Ale pun menarik napas lega. Tantenya yang tadi mengantarnya ke bagian belakang rumah, membantunya berdiri dan menggandengnya menuju ke ruang tamu. Ale bisa melihat Papanya yang tersenyum menatapnya, begitu juga dengan tatapan orang-orang di sekitar Papanya. Namun, Ale masih belum bisa melihat wajah laki-laki yang tadi mengucapkan qobul. Dia masih berada pada posisi memunggungi. Semakin dekat, Ale semakin bisa melihat wajahnya, namun masih tidak bisa mengenalinya. Hingga akhirnya, dia berdiri tepat di samping laki-laki itu, menatapnya. Laki-laki itu pun balik menatapnya. Namun, semuanya tiba-tiba menjadi gelap sebelum Ale sempat mengenali laki-laki itu.

***

Suara dering alarm menggugah Ale dari tidurnya. Dia membuka matanya dan menyadari dirinya yang tertidur di atas sajadah, masih menggunakan mukenanya. Ale bangkit dan merasakan punggungnya yang sakit. Dia tertidur setelah menjalankan shalat subuh. Tangannya mengusap wajahnya lalu melepas mukena, melipatnya dan memasukkan ke dalam lemari. Dia mematikan alarm yang terus berdering dari ponsel. Sudah pukul 6 pagi. Itu berarti dia harus bergegas kalau tidak mau terlambat sampai di kantor.

"Kamu tidak sarapan dulu, le?" seru Papa dari meja makan. Tangannya sedang mengoleskan selai di atas roti tawar.

Ale yang sedang berjalan cepat menuruni tangga, langsung menoleh. Bibirnya tersenyum kecut, lalu menggeleng.

"Udah mau telat, Pa." Dia melanjutkan langkahnya menuruni tangga, mendekati Papanya, lalu mencium pipinya.

"Ale berangkat dulu, ya." Lanjutnya lalu berlari ke luar rumah.

Dia melempar begitu saja tas tangannya, dan berkas yang dibawanya ke atas kursi belakang mobilnya. Tangannya menekan tombol start untuk menyalakan mesin mobil. Sudah hampir pukul 7 dan dia harus menekan pedal gasnya dalam-dalam. Ale terus merutuki dirinya sendiri yang tertidur setelah shalat subuh dan bermimpi seperti itu.

A Long Way To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang