17. Yes, I Miss You

359 55 4
                                    

Tumpukan berkas kredit debitur menumpuk di sudut meja. Setiap kali mendekati akhir tahun, selalu saja ada banyak sekali pekerjaan yang harus dilakukan. Entah untuk menambah total pencapaian kredit, debitur yang harus perpanjangan kredit, atau penyelesaian kredit bermasalah, semuanya harus diselesaikan sebelum akhir tahun. Ale sama sekali tidak beranjak dari mejanya sejak pagi. Ia bahkan belum mengisi perutnya sama sekali.

"Aku ke atas dulu, Le." Karen beranjak dari kursinya sambil membawa ponselnya. Ia juga bertahan mengerjakan paket kreditnya sejak pagi, sama seperti Ale.

Ale hanya bisa menoleh sesaat lalu kembali pada layar notebook-nya. Ia melirik sekilas jam tangannya. Sudah sore. Sama sekali tidak terasa, batinnya.

Dia lalu melihat ke layar ponselnya. Tidak ada pesan apapun yang masuk, selain dari grup whatsapp.

Dimana Abimana? Kenapa dia tidak menghubunginya sejak kemarin? batinnya lagi.

Entah kenapa, dia semakin terbiasa dengan kehadiran laki-laki itu. Dia pun akhirnya memutuskan untuk membuka aplikasi perpesanan dan mulai mengetikkan beberapa huruf, lalu mengirimkan pada Abimana. Tidak ada jawaban, meski sudah lima menit berlalu. Ale akhirnya meletakkan ponselnya lagi. Kembali pada layar notebook-nya.

Satu jam sudah berlalu. Masih tidak ada balasan pesan dari Abimana.

Dimana dia? tanya Ale di dalam hati.

Dia lalu menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Rasanya, dia mulai lelah melihat layar notebook. Mungkin, lebih baik berada di rooftop, mencari udara segar.

Ale akhirnya beranjak dari kursinya, berjalan menuju ke pantri kantor, membuat dua cangkir kopi. Setelah selesai, ia berjalan menaiki tangga menuju ke rooftop.

Angin sore langsung menerbangkan beberapa rambut Ale yang tidak terikat. Pandangannya langsung tertuju pada Karen, yang sedang menatap kosong pada langit sore, sembari duduk di bangku besi.

"Kopi?" tawar Ale, seraya mengulurkan cangkir kopi di tangan kanannya.

"Thanks." Karen menerimanya.

Ale menarik napas panjang setelah duduk di samping Karen. Matanya ikut menatap langit sore yang tampak indah dengan semburat jingganya. "Rasanya menyenangkan melihat langit, setelah seharian lihat angka." Gumamnya kemudian, membuat Karen langsung tertawa.

"Aku sudah menyerah lebih dulu." Balas Karen.

"Masih banyak yang numpuk. Mau atau enggak harus diselesaikan."

"Setidaknya, angkamu udah hijau."

Ale tersenyum mendengarnya. Semua itu berkat Abimana. Jika tidak, mungkin dia masih kesulitan mencari tambahan kredit di tempat lain.

"Bagaimana ibu, ren?" Ale memilih untuk mengalihkan pembicaraan. Sepertinya, sudah lama sekali Karen tidak menceritakan kondisi Ibunya.

"Baik. Meski sebenarnya, kondisinya tidak semakin membaik. Aku sedang menunggu donor ginjal."

Ale seketika menoleh. Benarkah kondisinya sudah seburuk itu hingga harus menjalani transplantasi ginjal?

"Untungnya, Bara sangat membantu. Dia yang membantuku untuk mencari donor ginjal. Dia juga yang mengantar Ibu ke rumah sakit kalau aku tidak bisa meninggalkan kantor."

"Syukurlah." Ale senang mendengarnya. Itu berarti hubungan mereka sudah membaik. Pantas saja sekarang Bara terlihat lebih sibuk dari biasanya. Lebih jarang ke rumah karena banyak hal yang harus dilakukannya, salah satunya merawat ibunya Karen.

Mereka berdua lalu diam. Sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. Membiarkan hembusan angin menerbangkan rambut mereka.

"Le..."

A Long Way To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang