4. A Cup of Memories in Bali

373 45 3
                                    

Secangkir kopi sudah kehilangan panasnya di meja. Sama sekali tidak tersentuh. Begitu pula piring berisi potongan cake. Ale hanya menatap kosong ke arah pantai. Satu tangannya menyangga kepalanya yang terasa berat setelah semalaman menangis. Untung saja matanya tidak bengkak pagi ini.

“Kopi, Le.”

Ale memindahkan pandangannya pada laki-laki yang akan duduk di depannya. Sebuah senyuman singkat Ale tunjukkan untuk menyapanya. Dia menyingkirkan cangkir kopinya yang sudah dingin.

“Aku sudah mengambilnya tadi.”

“Kopimu sudah dingin. Nanti perutmu kembung kalau meminumnya.” Ujar laki-laki itu, masih dengan senyuman tipis di bibirnya. Dia tampak fresh pagi ini dengan kaos putih yang dibalut kemeja kotak-kotak yang tidak dikancingkan.

“Sudah lama datang?”

“Barusan. Langsung kesini.” Abimana meraih cangkir kopinya dan meminumnya sedikit. Rasa pahit sekaligus asam kopi, ciri khas Bali, langsung terasa di lidahnya.

“Tahu darimana aku di sini?”

“Bara.”

Ale tersenyum tipis. Seharusnya dia tahu kalau Abimana dan Bara sudah bertukar informasi satu sama lain. “Aah, seharusnya aku tahu itu.”

Tidak ada balasan dari Abimana. Dia malah memalingkan wajahnya, menatap ke arah pantai yang sedang tenang. Laut tampak biru, sebagaimana warna langit pagi ini. Hanya sebuah garis horizon yang memisahkannya.

“Sepertinya aku harus menjelaskannya padamu, Le. Aku dan Bara tidak bertukar informasi seperti yang kamu pikirkan. Aku melakukan ini karena memang ini kemauanku. Aku yang meminta tolong padanya. Jadi, jangan marah padanya.”

“Apakah Bara mengadu padamu kalau aku marah padanya?”

Abimana menggeleng tegas. Tidak ada kebohongan sama sekali di matanya, sejauh Ale berusaha mencarinya.

“Apa yang aku lakukan juga bukan karena aku ingin memanfaatkan keadaanmu, Le. Aku…”

I know, bi.” Potong Ale. Dia rasa dia tidak perlu mendengarkan lebih banyak penjelasan lagi dari Abimana yang justru membuatnya merasa tidak nyaman. “Aku menghargai pemikiran kalian berdua. Jadi, aku pikir, kalian juga harus menghargai pemikiranku sendiri.”

“Pasti, Le. Aku tidak akan memaksamu.”

Ale hanya tersenyum tipis menanggapinya. Dia mengambil cangkir kopi yang diberikan Abimana tadi dan menyeruputnya. Rasanya tidak seperti seleranya. Dia lebih senang kopi yang sedikit manis, seperti yang selalu dibawakan Andra untuknya. 

Aah, Andra lagi! Ale kesal pada dirinya sendiri yang susah sekali move on.

“Apa rencanamu hari ini?” tanya Abimana mengalihkan pembicaraan.

Ale mengangkat bahu. Dia tidak tahu harus kemana pagi ini. Dia juga tidak menemukan Karen dan Bara sejak pagi. Entah kemana mereka. Misi dengan Karen sepertinya berjalan berantakan.

“Mau ikut aku?”

“Kemana?”

“Ikut saja dulu.”

“Kemana dulu?” Ale masih bersikeras.

“Pantai. Tempatnya bagus.”

“Tapi aku harus kembali siang ini.”

“Bawa saja kopermu sekalian. Nanti aku akan langsung mengantarmu ke bandara.”

Ale tidak langsung menjawabnya. Dia berpikir sejenak, lalu beranjak dari kursinya.

A Long Way To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang