24. Berpisah Sebelum Sempat Bersama

380 55 3
                                    

Deretan makanan terhidang di meja hingga terlihat cukup penuh. Ale sampai menatap kagum pada beberapa jenis masakan yang memenuhi meja. Tidak biasanya Papa akan menyiapkan makanan sebanyak ini.

“Ada acara apa, Le?” bisik Abimana yang berdiri di samping Ale, juga menatap ke arah meja makan.

Ale hanya mengangkat bahu. Dia juga tidak tahu ada acara apa di rumahnya malam ini. Yang dia tahu, dia mendapat telepon dari Papanya tadi pagi dan memintanya datang ke rumah malam ini.

“Kalian sudah datang?” Papa muncul dari dalam kamarnya. Wajahnya segar, sepertinya habis mengaji. Ale langsung memeluk Papanya. Setelah menikah, dia memang jarang sekali pulang. Selain karena kesibukannya di kantor, dia juga lebih banyak menghabiskan waktunya bersama Abimana. Maklum, pengantin baru.

“Bagaimana kabarnya Papa? Sehat, kan?” tanya Ale setelah melepaskan pelukan.

“Tentu saja sehat.” Jawabnya.

Abimana lalu mencium tangan Papa mertuanya.

“Ayo duduk dulu. Tapi, tunggu yang punya acara dulu, ya.”

Ale dan Abimana saling menatap bingung. Bukannya Papa yang mengundangnya tadi pagi? Seakan tahu dengan reaksi Ale dan Abimana, Papa langsung menjelaskan.

“Bara yang punya acara.”

“Aah.” Ale dan Abimana menarik kursi, tepat di depan Papa. 

“Dia juga yang mengirimi seluruh makanan ini.”

“Sekarang dia dimana?”

Papa mengangkat bahu. “Dia bilang, dia mau keluar sebentar tadi.”

_***_

Bara masih saja tidak bergerak dari tempatnya sejak satu jam yang lalu. Matanya pun masih menatap ke arah pintu yang masih menutup sejak tadi. Tampak lampu ruang tamu menyala. Itu berarti, pemilik rumahnya ada di dalam. Dia lalu melihat ponselnya lagi. Deretan pesan yang tidak dibalas satu kali pun. Meski sudah puluhan kali, dia mengirimkan pertanyaan yang sama, ataupun memberikan penjelasan. Masih saja tidak ada jawaban.

Bahkan, ketika dia mengatakan sedang berada di depan rumahnya pun, Karen masih bungkam.

“Sebegitu bencinya kah kamu padaku, ren?” Bara mengatakannya lirih.

Dia lalu melirik ke jam tangan fossil warna biru gelap yang melingkar di pergelangan tangan. Dia harus kembali ke rumah. Ale dan Abimana mungkin sudah menunggunya.
Bara kemudian menatap sekali lagi, pada buket bunga yang diletakkan di kursi besi di teras rumah Karen. Semoga saja Karen akan menerimanya dan tidak membiarkan bunga cantik itu kering tanpa disentuh.
Mobil yang dikemudikannya kemudian bergerak meninggalkan area perumahan.

_***_

Karen hanya bisa menggigiti kuku jarinya sendiri, sembari berdiri di balik pintu rumahnya. Ingin sekali dia berlari keluar, memeluk laki-laki yang sudah dirindukannya itu. Tapi, dia mengingatkan hatinya berkali-kali kalau apa yang dilakukannya sekarang adalah untuk kebaikannya sendiri. Dia sudah cukup trauma dengan sakit hati yang ditinggalkan mantan suaminya dulu. Dia tidak tidak ingin mengulangnya lagi pada hubungannya dengan Bara.

Lebih baik mengakhirinya sekarang sebelum semuanya menjadi terlambat. Bara tidak akan memperjuangkannya sebesar itu. Dia bahkan mengatakan cinta padahal foto pernikahannya dengan istrinya masih memenuhi dinding rumah. Dia tidak mau terus menerus terluka. Apalagi, Bara juga berniat kembali ke Seatlle, tempat semua kenangan antara dia dan mendiang istrinya. Lalu, bagaimana bisa dia dengan lantang mengatakan cinta? Apakah cinta seperti itu benar-benar nyata?

Karen menoleh ke arah jendela, saat mendengar suara mobil yang meninggalkan depan rumahnya. Dia mengintip dari balik tirai jendela. Mobil Bara bergerak menjauh dari rumahnya. 

A Long Way To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang