22. Wedding Day

414 52 3
                                    

Alunan suara musik mengalun lembut dari music player di sudut kamar. Konon, musik bisa mengurangi rasa gugup. Itulah alasan Ale memutar musik sejak awal dia dirias di dalam kamar, dia hanya ingin menghilangkan kegugupan yang membuatnya tidak bisa tidur semalam.

Matanya menatap lekat pantulan bayangan di kaca besar. Lekukan indah di kening, yang menurut perias khas Jogjakarta, sarat akan makna. Di tengah-tengah kening dibuat gambar prisma yang menambah keindahannya. Bunga mawar merah yang terselip diantara sanggul dan ronce melati tampak senada dengan polesan merah pada bibirnya. Ale berusaha tersenyum dan sesekali menarik napas panjang.

Rasanya, dia masih sangat ingat tentang mimpinya satu setengah tahun yang lalu. Semuanya terasanya nyata sekarang, meski kebaya yang dipakainya sekarang jauh lebih indah.

“Sudah siap, Le?”

Tante Lina, adik bungsu Papa, masuk ke dalam kamar. Dia yang akan mengantar ke hall, tempat akad nikah diselenggarakan. Ale hanya membalas dengan anggukan. Dia melangkah pelan karena jarik yang membalut kakinya terasa sangat ketat. Tante Lina menggandengnya dan juga seorang asisten penata rias.

Semakin dekat dengan tempat akad nikah, Ale semakin tidak bisa mengendalikan detak jantungnya. Inikah rasanya begitu dekat dengan pernikahan?

Pintu hall dibuka lebar. Pandangan Ale tertuju pada meja yang diletakkan di tengah-tengah hall. Ada Abimana di sana. Dari tempatnya berdiri sekarang, Ale bisa melihat bibir Abimana mengembangkan senyum di sana. Dia tampak menawan dengan beskap warna putih.

Tante Lina menuntun Ale hingga di kursinya, tepat di samping Abimana. Bibir Ale mengulum senyum tipis. Berada di samping calon suaminya, membuatnya justru semakin berdebar. Hingga ketika penghulu memulai acara ijab qobul, Ale sampai meremas-remas jarinya sendiri. Degup jantungnya semakin cepat ketika Papa mengucapkan ijab. Ale melirik pada Abimana saat mengucapkan qobul dengan satu tarikan napas. Di dalam hati, dia terus menggumamkan doa agar semuanya berjalan seperti yang diharapkannya.

“Sah.”

Runtuh semua sesak yang tadi mencekat di dada. Tidak ada kata-kata yang bisa digunakan untuk mengutarakan kelegaan yang dirasakan sekarang. Bibirnya tersenyum lebar saat menatap Abimana, lalu mencium punggung tangannya dengan lembut. 

Akhirnya, hari ini dia resmi menjadi istri Abimana. Laki-laki yang telah berhasil meyakinkannya bahwa hatinya berhak mendapatkan cinta yang terbaik, berhak keluar dari luka yang luar biasa sakitnya, dan menjadi wanita terbaik untuknya.

“Senang akhirnya semua berjalan lancar.” bisik Abimana saat mereka berdua berdiri di pelaminan. 

“Aku juga.” balas Ale. Bibirnya masih mengembangkan senyum, yang seolah tidak pernah lelah dia tunjukkan ke semua tamu yang datang.

“Nggak sabar tapi.” Tambah Abimana.

“Apa?”

“Nanti malam.”

Pipi Ale langsung memerah mendengarnya. Bagaimana bisa seorang Abimana tiba-tiba mengatakan hal seperti itu? Ale tidak membalas apapun, karena dia pun merasa sangat malu mendengarnya. 

Untung saja pembicaraan itu tidak berlanjut karena Bara yang mendekati mereka.

“Aku harus pergi. Maaf ya, tidak bisa lama.” Ucap Bara saat berdiri di dekat Ale. 

“Bagaimana Karen?”

“Masih di rumah sakit.”

Ale mengerti. Bara juga harus membagi waktunya dengan menunggui Karen di rumah sakit. Dia lalu memeluk laki-laki yang sudah dianggapnya sebagai kakaknya itu. Tangannya menepuk pelan punggung Bara. “Kamu juga jaga kesehatan, ya. Jangan sampai ikut sakit.”

A Long Way To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang