21. Bertahan

367 58 3
                                    

Setiap orang berhak mengharapkan sesuatu. Entah harapan itu akan mudah didapat atau akan butuh perjuangan ekstra untuk mendapatkannya. Tapi setidaknya, setiap orang pasti berharap. Karena sebuah harapan membuat orang tersebut bersemangat melihat pagi. Saat matahari terbit dan langit mulai terang, di situlah orang menumpukan harapan. Berharap pada satu kesempatan hari ini, harapan mereka akan terwujud.

Pandangan Ale tertuju pada seorang laki-laki yang berdiri di depan rumahnya. Laki-laki itu juga sedang menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa tergambarkan. Wajahnya tampak lelah seolah dia tidak tidur semalaman. Namun, Ale tahu kalau laki-laki di depannya ini punya banyak sekali kalimat yang ingin dikatakannya. Dia pun sebenarnya memiliki banyak hal yang ingin diucapkan pada laki-laki ini. Itulah kenapa dia berdandan sepagi ini dan bersiap pergi, tetapi saat dia membuka pintu depan rumahnya, laki-laki ini malah sudah berdiri di teras rumahnya.

“Aku minta maaf soal kemarin, Le. Maafkan aku, tidak bisa mengendalikan emosiku.” Abimana mengatakannya dengan wajah menyesal. Matanya sayu karena terjaga semalaman.

Ale tidak mengatakan apapun. Bibirnya justru mengembangkan senyum. Dia melangkah mendekati Abimana, lalu melingkarkan tangannya di pinggang Abimana. Kepalanya bersandar pada dada calon suaminya itu. Terdengar suara detak jantung yang tidak berirama di dalam dadanya, membuat senyum di bibir Ale semakin lebar. Bagaimana bisa jantungnya masih berdetak dengan cepat saat dipeluk calon istrinya sendiri?

Sebuah tepukan lembut di punggung Ale, mengisyaratkan kalau semuanya akhirnya menjadi baik-baik saja. Pertengkaran semalam terlupakan begitu saja, saat sebuah pelukan menjadi pelipur kekecewaan. Rencana pernikahan yang nyaris hanya menjadi harapan palsu, akhirnya tetap menjadi harapan hingga beberapa minggu lagi.

“Maafkan aku juga, bi.” Bisik Ale masih tidak melepaskan pelukannya. Dia merasa nyaman seperti ini. Setelah semalaman menangis dan merenungkan tentang perasaannya, Ale akhirnya tahu bahwa yang dibutuhkannya saat ini adalah Abimana berada di dekatnya, memeluknya seperti ini dan tetap menjadi miliknya.

“Teh chamomile.” Ale mengulurkan secangkir teh chamomile pada Abimana. Dia tahu kalau Abimana membutuhkan sesuatu yang akan membuatnya tidur dengan nyenyak setelah ini.

“Terimakasih.” Abimana menerimanya, lalu meminumnya sedikit. Rasa hangat langsung terasa di badannya yang cukup kedinginan. Entah karena, dia memang kedinginan atau sedang tidak enak badan.

Mereka berdua duduk bersebelahan di sofa yang menghadap ke televisi. Hingga, Abimana akhirnya menyandarkan kepalanya di pundak Ale.

“Bolehkan Le, bersandar sebentar?”

“Iya.”

“Kamu tadi mau kemana?” tanya Abimana kemudian. Dia belum menanyakan kemana Ale tadi yang terburu-buru membuka pintu rumahnya dan memakai baju rapi.

“Ke rumahmu.”

“Kenapa?”

“Memperjuangkanmu. Lagi.” sahut Ale dengan sudut bibir tertarik ke samping. Dia tidak akan pernah lelah untuk memperjuangkan hubungannya dengan Abimana, karena dia tahu Abimana layak untuk diperjuangkan.

Abimana malah tertawa kecil, mendengarnya. “Tapi aku lebih dulu memperjuangkanmu.” Balasnya kemudian.

“Boleh tanya sesuatu, bi?”

“Hmm?”

“Kenapa kamu tiba-tiba berubah pikiran? Aku masih ingat kamu sangat marah semalam. Aku bahkan sampai berpikir kalau kamu masih tidak memaafkanku saat aku ke rumahmu, aku akan berdiri di depan pagar rumahmu sampai kamu membuka pintu.” Ale mengatakannya masih dengan sisa senyum di bibirnya. Dia bahkan sudah membayangkan semua kemungkinan terburuk semalam.

A Long Way To YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang