"Gara-gara kamu, anak saya masuk Rumah Sakit."
"Andin? Dia kenapa?!"
"Kamu tak perlu tahu. Anak haram itu akan saya hilangkan setelah Andin keluar dari Rumah Sakit. Tetapi, kamu ... tidak akan saya lepaskan."
Adrian diam. Benar, dulu ia yang ingin Andin menggugurkan kandungannya. Tetapi sekarang berbeda, Adrian ingin bertanggung jawab. Adrian tak mau anaknya mati. Tidak sama sekali.
"Jangan."
Pria dewasa itu tertawa kencang, "Jangan, kamu bilang? Bukannya kamu yang menyuruh anak saya menggugurkan kandungannya sampai dia menangis?"
"Om, saya akan bertanggung jawab. Tapi jangan bunuh anak saya."
"Hm, tau apa kamu soal tanggung jawab? Putri saya menangis setiap malam, merasakan sakit sendirian, dan kamu? Kamu hidup enak bersama adik kamu. Apa kamu tahu bagaimana perasaan saya?"
Pria itu berbalik, menunjukan layar laptop ke arah Adrian. Membuat laki-laki itu membulatkan matanya kaget. Itu, rekaman seisi rumahnya. Termasuk, kamar Arabelle.
"Saya begitu tersiksa ketika melihat keadaan putri saya yang seperti itu, tapi saat itu saya tidak bisa apa-apa. Anak saya sama sekali tidak menceritakan semuanya."
"Dan sekarang, saya akan balas dendam. Bukan melalui kamu, tetapi adik kamu."
Lalu setelah itu, pria dewasa itu keluar dari ruangan Adrian tanpa menghiraukan Adrian yang terus berteriak memanggil-manggil.
•••
"Kamu udah enakan?" tanya Ara membantu Andin untuk bersandar.
"Udah kok. Makasih ya, Ra," balas Andin sambil tersenyum.
"Sama-sama. Aku khawatir banget tau kemaren, tapi kata dokter untungnya langsung di bawa kesini. Kalo ngga mungkin-"
"Keguguran?"
Ara tersenyum kecil, kemudian ia menarik kursi, duduk di sana. Menempelkan telapak tangannya di perut Andin. Bergumam kecil di sana.
"Kamu harus sehat terus ya."
"Andin, nanti keponakan aku panggil aku onti ya?" ucap Ara dengan binar bahagia nya.
"Iya."
"Kamu mau di panggil apa nanti?" tanya Ara kepada Andin.
"Bunda. Aku mau banget di panggil Bunda, tau gak sih? Waktu kecil pas aku punya keponakan, aku maunya di panggil Bunda tau. Tapi kata Mami, jangan. Jadi ngga deh, cuma di panggil Aunty. Tapi sekarang kejadian!"
"Se-"
"Ra."
Ara membalikan tubuhnya menuju asal suara. Ternyata Daniel yang memanggilnya, Ara berdiri. Memghampiri Daniel yang masih berdiri di sana.
"Kenapa?" tanya Ara.
Daniel melihat sekilas ke arah Andin, lalu kembali ke arah Arabelle. "Keluar sebentar, yuk? Ada yang mau aku omongin."
"Di sini aja, Ara lagi sama Andin," tolak Ara.
Daniel menatap tajam Ara, membuat nyali gadis itu menciut. "Di luar," ucapnya penuh penekanan.
Ara mencebikan bibirnya kesal, ia melihat ke belakang. Ia tak tega meninggalkan Andin yang sedang seperti itu. Tapi Daniel ... ah pilihan sulit.
"Bentar," balas Ara kemudian berjalan ke arah Andin.
"Andin, Ara keluar sebentar, ya? Sebentar aja kok," ucap Ara.
Andin tersenyum kemudian mengangguk, "Iya."
"Kamu gak papa sendirian?"
"Gak papa. Lo keluar aja sana, nanti pacar lo marah. Serem," ucap Andin memelankan kata terakhir kemudian tertawa, begitujuga dengan Ara.
"Ara keluar dulu ya, dah!"
•••
"Kenapa?" tanya Ara langsung.
Daniel terlihat seperti mencari sesuatu di saku jaketnya. Kemudian mengeluarkan sebuah pisau yang waktu itu Andin buang! Bagaimana bisa?
"Itu-"
"Aku temuin ini di kamar kamu, di tempat sampah. Dari siapa?" tanya Daniel kembali memasukan pisau itu kedalam saku jaketnya.
"Aku gak tau. Tiba-tiba ada di depan pintu, aku belum sempet buang."
Daniel berdecak, ia mengacak rambutnya frustasi. Ara mengerutkan keningnya heran, Daniel kenapa? Pikirnya.
"Kenapa kamu gak bilang, hah? Ini bahaya, Ra!" sentak Daniel membuat Ara lagi-lagi di buat bingung.
"Bahaya gimana maksud kamu?"
"Ini bukan pisau biasa, Ara. Ada angka 12 di sini, bukan angka sembarangan. Pasti ada sesuatu di baliknya, kamu dalam bahaya!" balas Daniel memegang kedua bahu Ara.
"Apa sih, Daniel? Gak mungkin," Ara melepaskan tangan Daniel yang bertengger di bahu nya.
"Malam ini aku tidur di rumah kamu," putus Daniel final.
"Enggak! Apaan sih? Jangan lah!" tolak Ara. Ia tak mau sampai tetangga nya memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Dengerin aku kali ini aja, Ra! Kamu dalam bahaya, nurut!"
"Tapi-"
"Aku tidur di bawah, gak akan masuk ke kamar kamu kalo gak penting. Oke?"
Ara mengangguk ragu. Daripada ia di marahi Daniel, mending ia menyetujui nya saja. Lagipula Daniel tidur di lantai bawah, bukan?
"Aku pulang dulu. Kamu temenin dia lagi aja, nanti aku kesini lagi," ucap Daniel yang mendapat anggukan dari Ara.
"Hati-hati, Ra. Telfon kalo ada apa-apa."
Lagi-lagi Ara hanya bisa mengangguk. Menuruti semua ucapan Daniel.
•••
Minal aidzin walfaidzin ya semua ^^Maaf kalo aku banyak salah, tukang ngaret hiks

KAMU SEDANG MEMBACA
Arabelle [END]
Teen Fiction[COMPLETED] [Di private acak, follow agar bisa membaca] Ara tak suka jika Daniel lagi-lagi pulang dengan darah yang menempel di baju nya, tapi berbeda dengan Daniel, dia malah sebaliknya. Sikap yang bertolak belakang itu membuat Ara kerap tak bisa m...