08. Marah besar

1.2K 83 0
                                    

Happy reading!

"Ra, aku-"

Brak

Arabelle menutup pintu kamar Daniel dengan keras. Ia kembali masuk kedalam kamarnya, ia kecewa kepada laki-laki itu. Terlalu sering ingkar janji membuat ia muak dengan semua itu. Ia hanya butuh bukti, bukan janji.

"Ra! Buka!" teriak Daniel yang sama sekali tak di gubris Ara.

"Buka atau aku dobrak?!" ancam Daniel yang juga tak di gubris Arabelle.

BRAK

Daniel mematung melihat pemandangan di depannya. Gadisnya yang sedang berpelukan dengan laki-laki yang memakai baju serba hitam, dengan posisi laki-laki itu yang membelakangi Daniel, dan Ara yang menghadap Daniel. Ara yang melihat Daniel langsung melepaskan pelukannya. Begitu pun dengan laki-laki yang memeluknya itu, dia langsung keluar dari kamar Ara lewat jendela.

Gadis itu mulai mundur saat melihat Daniel yang maju ke arahnya dengan tangan mengepal. Jangan lupakan sorot mata tajam yang melihatnya dengan amarah itu. Ara takut.

Brak

Daniel menutup jendela kamar kasar, membuat Arabelle tersentak di tempatnya. Lalu setelah itu, Daniel menarik tangan gadis itu kencang, mendorong tubuh mungil itu sampai terjatuh ke ranjang.

"Daniel ini gak-"

Brak

"DIAM!" bentak Daniel menendang kursi yang berada di depan meja belajar itu sampai terjatuh.

"Aku gak tau Daniel!"

"LO SELINGKUH HAH?!"

"Nggak!"

"DI DEPAN GUE?! KARNA ITU LO LARANG GUE MASUK?! KARNA ITU LO KUNCI PINTU?! BIAR LELUASA?! ANJING LO!"

"NGGAK! Nggak! Aku gak selingkuh! Aku gak tau dia siapa!" Ara bangkit, memberanikan diri memegang tangan Daniel, namun di tepis laki-laki itu.

"Berkhianat, hm?" Daniel mengangkat dagu Ara. Membuat ketakutan gadis itu semakin menjadi. Ara menggeleng, tangannya terangkat berusaha melepaskan tangan Daniel yang begitu erat mencengkram rahangnya, sakit.

"JAWAB!"

Bruk

Lagi, Ara kembali terjatuh ke atas ranjang akibat dorongan keras Daniel. Daniel mendekat, mengukung Arabelle di bawahnya. Pemandangan menjijikan tadi selalu terlintas di kepalanya, membuat ia ingin sekali membunuh keduanya.

Daniel mengusap bibir bawah Arabelle, wajahnya mulai mendekat. Tak menghiraukan Ara yang terus berontak meminta di lepaskan dengan air mata yang mengalir di pipi nya. Daniel tak peduli.

"Daniel! Apa-apaan kamu!" David tertegun saat melihat anaknya yang seperti itu. Tadi ia beserta istrinya mendengar kekacauan itu, lalu tanpa berkata apa-apa lagi, mereka langsung bangkit dan naik kelantai atas.

Seruan David tak di dengarkan Daniel, ia tak peduli semarah apa pun kedua orang tuanya itu. Ia tak peduli, sama sekali tidak.

"Mulai sekarang, kita sekamar," ucap Daniel dengan penekanan di akhir kata nya.

Ara menggeleng, ia tak pernah mau sekamar dengan Daniel. Ia takut laki-laki itu akan berbuat macam-macam kepadanya. Ia tak mau itu terjadi, ia sangat takut.

"Iya atau gue buat lo hamil sekarang!" ancam nya membuat tangis Arabelle pecah seketika.

"Daniel!" Meri tak tega melihat Ara yang di perlakukan seperti itu oleh anaknya.

"Tolong Ara Ma, Pa," ucap Ara meminta pertolongan kepada kedua orang tua Daniel. Ia tak mau hal yang tidak di inginkan itu terjadi.

"Masih mau nolak?" Daniel memegang baju Arabelle, hendak merobeknya membuat Ara terus-terusan berontak di bawah kukungan laki-laki itu.

"Daniel stop! Apa yang kamu lakuin itu salah!" tegur Meri mendekat. Tapi sebelum mendekat, seruan Daniel menghentikan langkahnya.

"Kalian mendekat, Daniel semakin nekat!" ucap Daniel tanpa mengalihkan tatapannya, hanya Arabelle yang ia tatap sekarang.

"Ma... hiks,"

"Ara...," David menjeda ucapannya, ia tak mau anaknya berbuat nekat, berbuat hal lebih kepada Arabelle. "Mau ya?" lanjutnya membuat tangis Ara semakin menjadi.

"Nolak, huh?!"

"Ara, demi kamu... mau ya? Mama mohon, Daniel bisa semakin menggila kalo kamu nolak, nak."

Ara tak punya pilihan selain mengangguk sekarang, tak ada yang bisa membantunya, termasuk kedua orang tua Daniel. Lagi pula ia siapa yang segala keinginannya di turuti semua? Ara tak punya hak itu. Dirinya tinggal disini supaya Daniel tak berbuat nekat dan melakukan hal gila terus menerus, membunuh.

Padahal, ia memang tak tahu siapa laki-laki itu. Laki-laki asing yang tiba-tiba masuk ke kamarnya, lalu memeluknya. Dan mengatakan sesuatu yang masih terngiang di kepalanya sampai sekarang.

"Gue kakak kandung lo."

Daniel tersenyum begitu Ara mengangguk. Ia menoleh ke arah kedua orang tuanya yang sedikit jauh dari mereka. "Keluar," ucapnya dengan wajah datar.

"Daniel-"

"Keluar," ucapnya penuh penekanan membuat kedua orang tuanya pasrah, lalu keluar dari kamar Arabelle. Berharap agar keadaan gadis itu baik-baik saja setelah mereka keluar dari kamar gadis itu.

"A-aku gak tau kalo-" Ara menjeda ucapannya, suaranya tercekat begitu saja. Ia tak bisa melanjutkan ucapannya, ia kembali menangis.

"Siapa?"

"G-gak tau," balas Arabelle menunduk.

"Siapa?!"

"Nggak tau Daniel! Hiks..., aku gak tau dia siapa! Kamu kenapa gak percaya sama aku?!"

"Gue gak suka lo di pegang sembarangan sama orang lain. Pernah gue pegang-pegang lo? Nggak!  Bahkan gus jarang meluk lo! Gue hargain lo, gue gak mau lo gak nyaman. Tapi tadi-?"

Ara berhambur kepelukan laki-laki itu. Sungguh, ia tak tau ia siapa. "Maaf," ucapnya masih dengan isakan yang kentara jelas. Ia tak bisa meredakan tangisnya, susah.

"Jangan marah Daniel."

"Maafin Ara, Ara gak tau dia siapa. Ara gak bohong, jangan maraahhh," Ara mengguncangkan tubuh Daniel, ia tak mau Daniel seperti tadi. Ia takut.

"Bohong!"

"Kapan Aku pernah bohong sama kamu?! Aku takut liat kamu kayak tadi! Aku takut," ucap Arabelle berjalan mundur.

"Jangan takut, aku gak akan kayak gitu kalo kamu juga gak pancing emosi aku," balas Daniel kembali merendahkan suaranya.

"Jangan takut," ucap Daniel menarik Arabelle kedalam pelukannya.

•••
To be continue

Pendek ya?
Jangan lupa tinggalkan jejak, aku tunggu vote dan komen dan kalian ^^

Sampai jumpa di chapter selanjutnya!

Arabelle [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang