"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha Naura Sabilah binti Rais Muhammad Jafar alal mahril madzkuur wa radhiitu bihi, Wallahu waliyut taufiq ..."
Dua orang di samping meja Ayah saling melempar tatapan dengan batinnya berdiskusi apakah pernyataan barusan sudah dapat dipegang sumpahnya, menikahkan bocah tak tahu apa-apa macam aku begini.
Gemuru tamu yang mengisi tatanan halaman rumahku seraya menambah horor telingaku dengan sorakan sah-nya usai saksi mengiyakan pernyataan yang kuharap tak pernah kudengarkan.
Begitulah adanya, memang sangat kolot menjadi aku, bisu tanpa kemerdekaan, bernapas dengan kewajiban membayar masa kehidupanku. Bisakah kusebut aku tengah dijual untuk membayar bakti diurus oleh keluargaku yang tega? Kalau iya, mengapa? Mengapa harus aku yang didulukan? Mengapa aku yang mesti dinikahkan bahkan dua di atasku masih tercatat baik nama Kak Zeina dan Kak Maura yang lebih pantas. Tidakkah ada yang berpikir usiaku masih memintaku melanjutkan studi?
Aku tak habis pikir lagi!
Setiap kali mengingat permohonan Ayah malam itu, rasanya air mataku tak diundang pun bisa jatuh sendirinya, lututku seakan tak bertulang, dan aku tak mau mengingatnya hari ini, karena ini adalah hari yang mereka semua harapkan. Aku masih berhati, tak ingin semua mata memandang pemandangan di depannya adalah sebuah keterpaksaan, meski begitulah kenyataannya.
Selamat tinggal masa depan impianku, aku sudah dinyatakan gagal meraihmu untuk sebuah bakti terakhir. Aku tak akan menggelari diriku sebagai calon sarjana, bahkan sebelum menjadi mahasiswa saja, aku sudah gagal. Aku berakhir dengan di-khitbah tiga hari sebelum ujian nasional, bahkan aku belum mengetahui dengan jelas apakah namaku akan terdaftar lulus dari sekolah. Kuharap aku tak payah lulus kalau begini!
Tamu kemudian saling berdatangan menyalamiku, memberikan selamat atas pernikahan yang digelar Ayah dan Umi pertama kalinya. Dalam hati aku amat bermohon, segera akhiri hari menyebalkan ini, Tuhan. Aku tak kuasa tersenyum lebih lama dibalik penderitaan yang kualami sendiri.
"Masya Allah, anak Umi ... cantiknya," Umi berdecak kagum menemuiku di singgasanaku.
Bolehkah aku jujur di hadapannya sekarang, bahwa aku tak butuh cantik jika berakhir semenyedihkan ini? Aku tidak ingin berakhir sebagai orang-orang kolot yang dijodohkan dengan seseorang yang sama sekali tidak kukenali.
"Harus berbakti ya ke suami, Nak, kalau suami bilang jangan, Bilah nggak boleh kerjain, kalau suami bilang harus, Bilah nggak boleh bantah," sambungnya lagi.
Tanpa kuminta air mataku mendadak runtuh memeluk Umi, bahkan aku telah dijebak jauh dari perkiraanku. Ini bukanlah bakti terakhir, melainkan awal dari penyiksaan sesungguhnya. Aku melanjutkan bakti kepada lelaki tua ini.
Harus apa aku, Tuhan?
Ya, ribuan pertanyaan harus apa aku sekarang, menjadi beban dalam kepala. Aku tidak menerima takdirku, tidak menerima hidupku. Dua kakak dan seorang adik laki-lakiku bahkan senang aku pergi, tawa bahagia mereka merekah memberikan doanya lalu berakhir dengan sebuah foto keluarga sebagai akhir perpisahan kita. Mereka seolah menyatakan kepadaku, kita tidak lagi bersaudara!
Dan, di sinilah aku sekarang, di hadapan sebuah rumah serba putih, hanya kolam renangnya yang biru menambah kesan dia orang berduit. Aku amat berharap nasibku sekarang tidak sedang memerani karakter Nyai Ontosoro dalam novel Bumi Manusia.
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)
SpiritualRomance-a bit spiritual. Memilih menikah di usia 17 tahun mungkin menjadi putusan berat yang harus dijalani Sabilah. Impiannya menjadi seorang mahasiswa harus ditundanya meladeni Afif yang berusia sepuluh tahun di atasnya. Di hari pertama menapaki r...