AKU dan Kak Abel semakin ke sini semakin akrab saja. Beberapa hal tentang perjuanganku berkuliah sedikit banyak kuceritakan kepadanya, Kak Abel memberiku solusi untuk mentalku lebih tegar lagi. Hidup kadang memang demikian. Kita tak dapat menyelesaikan segalanya hanya dengan tangan sendiri, perlu bantuan pihak lain untuk bantu memahamkan kondisi yang sulit terbaca.
"Bilah besok ikut aku ke kampus, ya, ada rapat UKM. Mau nggak?" ajak Kak Abel.
"Emang boleh?"
"Bolehlah. Toh ini juga buat kesehatan mental kamu, kamu udah berusaha keras selama ini, dan mungkin kita bertemu ... sebagai jalan dari Tuhan untuk memberikan hadiah atas usaha besar kamu. Aku janji bakal ngebuat kamu ngerasa lebih legowo, aku akan ngebuat kamu jadi mahasiswa selama aku juga jadi mahasiswa. I promise!" terangnya sembari mengulurkan kelingkingnya ke depanku bersama senyum yang ia bentuk untuk menenangkan ambisiku.
"Entar kalau aku diusir, gimana?"
"Ya nggak akan dong. Aku akan minta bantuan semua temen organisasiku, bahkan semua temen-temen kelas aku untuk bantuin kamu. Aku yakin mereka semua akan mau, apalagi kalau tahu yang dibantu ini punya impian besar sekaligus ... cantik. Hehe, temenku banyak yang jomblo soalnya, Bil," gurau Kak Abel.
"Apaan sih, Kak. Mending nggak usah deh, Kak. Aku bisa tour ke kampus Kak Abel juga aku udah syukur banget. Daripada nyari masalah sampai ketahuan dosen, kuliah Kakak bisa terancam loh,”
"Aku beneran pengen bantu kamu, Bil. Pokoknya, ya, kapan pun kamu pengen ngikut kelas aku nanti, kamu tinggal bilang. Aku pasti ba—"
Tuk ... tuk ... tuk.
Ketuk di pintu rumah tiba-tiba saja menyela obrolan seru ini. Kak Abel mengodeku, mengatakan yang datang adalah pemilik rumah ini, setelah mengintip dari balik jendela terdekat.
"Assalamualaikum," ucap ibu agak berisi tersebut tersenyum ke arah kami berdua.
"Waalaikumussalam warahmatullah wabarokatuh. Mari masuk, Bu," ajak Kak Abel penuh sopan santun. Ibu tersebut masuk memenuhi ajakan Kak Abel.
Kami duduk tersebar di kursi ruang tamu ini, ibu pemilik rumah juga sangat ramah kepada kita.
"Abel kerjanya sekarang gimana, Nak?" tanya Bu Intan—pemilik rumah ini.
"Alhamdulillah, sejauh ini masih lancar, Bu,”
"Oh iya, yang lain ke mana, kok hanya berdua?” Bu Intan melirikku juga.
"Kayanya masih dengan kesibukan masing-masing, Bu, hehe, soalnya masih awal-awal liburan. Paling nanti kalau udah deket kuliah, yang lain balik ke sini lagi,”
“Mm, gitu?”
"Kalau boleh tahu, ada apa ya, Bu?”
"Mm, begini ... berhubung kontrak kita hampir selesai, Ibu mau tanya dulu ke kalian, apakah kontraknya masih mau diperpanjang?” tanya si ibu.
"Duh, kalau itu saya belum bisa pastikan, Bu, soalnya saya lagi sendiri, temen-temen masih belum dateng semua. Kalau pembayarannya saya yang tanggung duluan pun budget saya mungkin belum cukup,"
"Bagaimana, ya, begini Nak Abel, jadi Ibu ada yang tawarin, kalau lusa belum ada kepastian dari Abel dan temen-temen, niatnya dia tawarin ke Ibu untuk sewa rumah ini lima tahun ke depan,"
"Aduh, gimana ya, Bu?" desis Kak Abel seketika dibuat cemas.
"Makanya saya tanyakan dulu ke Abel dan teman-teman, biar bagaimanapun kalian kan sudah lama tinggal di sini. Nggak tega rasanya kalau kalian harus Ibu lepas, tapi balik lagi ... kita masih sama-sama punya kebutuhan kan, Nak?"
KAMU SEDANG MEMBACA
WEDDING AGREEMENT Putus atau Terus (End)
SpiritualRomance-a bit spiritual. Memilih menikah di usia 17 tahun mungkin menjadi putusan berat yang harus dijalani Sabilah. Impiannya menjadi seorang mahasiswa harus ditundanya meladeni Afif yang berusia sepuluh tahun di atasnya. Di hari pertama menapaki r...