25. Love Left Behind

25K 3.1K 534
                                    

•Happy Reading•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•Happy Reading•

Rembulan yang bersinar pucat menerangi pekatnya langit menuju tengah malam. Beberapa menit Ines bertahan, duduk dibangku panjang depan kantor selepas bekarja.

Hujan mengguyur Jogja cukup deras, bukan mengigil dingin, namun sebaliknya, rasa panas serasa membakar hati dan ingatannya.

Biasanya, ada dia yang menunggunya dengan siaga.

Ines menggeleng keras, mencoba mengenyahkan kelumit nestapa akan kekosongan yang kembali menyapa.

Awalnya Ines merasa biasa saja, tapi semakin lama terasa ada yang kurang, ada yang hilang dan dirinya belum tahu pasti itu apa, kebiasaan mereka atau memang orangnya?

Ines tidak menampik, disela kesalnya, ia pun menyukai sikap lelaki itu yang mengorangkannya.

Ines merasa dihargai, keberadaannya dianggap penting, meski mungkin hanya sekedar pelampiasaan hasrat semata. Tapi tak mengapa, sebab Ines juga mencari keuntungannya sendiri atas kedekatan mereka.

Ines mengusap wajahnya kasar, menyadarkan punggungnya pada dinginnya kursi besi panjang. Bukankah dulu ini ia inginkan? Terlepas dari Hito dan mendapatkan kembali kebebasannya.

Lantas, kenapa ia meresah?

Ia membenci eksistensi lelaki itu yang terlalu mengisi hari-harinya. Meninggalkan kenangan yang bercongkol dan menggerogoti kewarasannya perlahan.

Sudah tak ada lagi yang menuntutnya dalam segala aturan yang memaksa. Tak ada lagi perhatian dan kemunculan lelaki itu sekedar mengajaknya mengurai penat.

Ada sekelumit rindu yang menyiksa, memberatkan hatinya atas perpisahan mereka. Entah pada kebiasaan kebersamaan sebelumnya, atau pada orangnya?

"Oi, SUNDEL!" panggil Dilla dengan suara lantang.

Mendengus kecil, Ines berjalan mendekat. "Apaan?" tanyanya bosan. Ia berdiri di sebelah motor yang mesinnya masih menyala.

"Udah nggak ujan, ya?" gumamnya pada diri sendiri. Ines mengangkat tangannya memastikan, membuat butiran kecil air gerimis membentur telapak tangannya. Pantas saja banyak yang bersiap pulang.

"Naik! Aku anter pulang," seru Dilla. Berusaha menyembunyikan cemas, ia tarik risleting jaketnya semakin ke atas hingga batas leher. "Ck, muak banget aku liat kamu ngenes ngelamun kayak gitu," gerutunya sebal.

Ines terkekeh, menoel dagu Dilla gemas. "Ck, diem-diem perhatian juga kamu sama aku." Ia usap bagian bawahnya pura-pura terharu.

"Lemah!" cibir Dilla. Menepuk jok belakangnya, menyuruh Ines segera naik. "Baper kok sama omongan, baper itu ya kalau dibelanjainlah, Sundel!"

"Udah ilang orangnya." Ines merapatkan duduknya ke depan. Memasukkan kedua tangannya dalam saku jaket yang Dilla kenakan.

"Jadi Buayanya yang betina apa yang jantan?" tanya Dilla penuh ejekkan.

Fight for HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang