•Happy Reading•
Ines sudah berdiri di depan rumah dua lantai milik budhe Erna-kakak dari mamanya. Besok salah satu sepupunya akan bertunangan, jadi semua keluarga berkumpul di sini.
Langkah kakinya kian memberat saat mendekati pintu yang sudah terbuka lebar. Berada di tengah-tengah mereka membuatnya tertekan. Keluarganya secara terang-terangan menyinggung dan menyudutkannya, memandang dirinya rendah, dan apa yang ia lakukan selalu salah di mata mereka.
Masuk ke dalam, senyum Ines berkembang manis, meredam gejolak gusar dengan menyapa seperlunya.
"Dari Solo langsung ke sini nggak pulang dulu, Nduk?" tanya Erna melihat penampilan keponakannya yang mengenakan hoodie hitam kebesaran, training abu-abu dan menyangklong tas ransel berukuran sedang.
"Iya, budhe." Ines memang tidak berniat berlama-lama di sini, setor muka sebentar cukup baginya.
"Gimana kuliah kamu? Lancar? Kalo kekurangan biaya bilang budhe."
Ines tersenyum, senyum yang tak pernah sampai ke hatinya. Budhenya memang akan memberinya uang, tapi selanjutnya ia akan menjadi bahan gibah satu keluarga.
"Nyapa toh? Kayak Hilman kurang duit aja sampai Ines ngadu ke kamu," imbuh Risti-budhe tertua. Mama Ines terlahir bungsu dari tiga bersaudara.
"Kalau nggak kekurangan terus opo jenenge? Sampai ponakkanmu iku dadi....,"
Mesti Erna menggantung kalimatnya, Ines tahu lanjutan dari percakapan yang menyangkut pekerjaannya. Ia menunduk, menepuk pelan satu kakinya tidak nyaman.
"Kamu jurusan apa, sih? Maaf, maaf, Budhe lupa." Wanita yang mendekati usia setengah abad itu terlihat berpikir dengan keningnya yang berkerut berlipat-lipat.
Ines diam-diam mendengkus, lalu mengangkat kepalanya menatap budhe Erna yang juga sedang menyorotnya.
"Terapi Wicara, jurusan nggak jelas. Padahal Koko udah nyuruh kuliah di Malang bareng sama Cantika, masuknya tanpa tes, semua udah disiapin, malah nyusahin diri, sok-sokan mau mandir. Milih jurusan yang nggak bonafit. Nantinya mau kerja apa?"
Suara sinis lengkap dengan cemooh itu milik mama kandung Ines yang meninggalkannya dan adiknya pergi begitu saja dengan lelaki lain yang bernama Hilman, kerap dipanggil Koko.
"Aku baru denger ada jurusan kayak gitu," suara Budhe Risti menyauti. "Emang prospek kerjanya apa?"
"Palingan cuma melajari bahasa isyarat," jawab Renata diiringi kekehan mengolok.
"Ya ampun, kalo kayak gitu mending kamu ambil jurusan lainnya kalau fokusnya mau kekesehatan. Bidan atau perawat kan ya banyak, nggak perlu jauh-jauh ke Solo juga," sahut Risti.
"Contoh itu sepupu kamu, kuliah di kampus yang bagus, dapet kerjaannya juga makin gampang. Kemaren Sella lulus langsung dapet tawaran kerja di tempat magangnya dulu," imbuh Budhe Erna membanggakan anak sulungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fight for Happiness
RomanceInes kira pertemuannya dengan Hito hanya sebatas one night stand kala itu. Namun, ternyata Hito kembali menghubunginya, hingga pertemuan demi pertemuan membuat keduanya kian dekat dan terlibat dalam hubungan friend with benefits. Lalu, bagaimana jik...