Ines kira pertemuannya dengan Hito hanya sebatas one night stand kala itu. Namun, ternyata Hito kembali menghubunginya, hingga pertemuan demi pertemuan membuat keduanya kian dekat dan terlibat dalam hubungan friend with benefits.
Lalu, bagaimana jik...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Happy Reading
"Minggu depan kamu jalan lagi kan, sama Dilla juga?" tanya Hilman memastikan sembari memberikan amplop berisi dua belas lembar uang seratus ribuan. Gaji selama tiga hari bekerja.
"Iyalah, Mas."
Tak mungkin Ines melewatkannya, ia butuh untuk membayar uang semesteran. Biaya kuliahnya benar-benar dari keringatnya sendiri, tanpa bantuan dari siapa pun, termaksud Hito.
Hilman mengangguk, tak perlu mencari SPG kosong lain sebagai pengganti. Sudah cocok dengan keduanya, tidak rewel dan mengerti bagaimana semestinya bekerja.
"Oke deh. Thanksall," ucapnya, lalu berpamitan karena masih ada laporan yang harus ia kerjakan. Begitu juga keduanya.
Ines menyamakan langkah kakinya keluar kantor bersama Dilla, kepalanya menunduk pada ponsel menampilkan aplikasi Ojek Online. Ia mendengus mengingat tugasnya yang menumpuk, melambai-lambai minta ia jamah setibanya di Solo.
"Nggak di jemput Hito?" tanya Dilla.
Ines menggeleng. "Aku nggak bilang kalau kita udah pulang, pengen balik sendiri naik bis."
Semenjak mereka dekat, Hito selalu siap mengantar jemputnya, mau diajak melakukan apapun tanpa protes. Mendengarkan segala ceritanya tanpa menghakimi meskipun ia bersalah.
Tapi, perlakuan manis Hito justru mengusik Ines—yang tak suka terlalu bergantung pada orang lain. Terasa asing baginya.
"Ke Terminal Giwangan? Ayo aku anter. Dari pada kamu bayar gojek mending isi full bensin motorku aja." Dilla menyengir.
Ines menatap Dilla dengan mata memincing, jika mengantarkannya Dilla harus memutar cukup jauh untuk sampai ke indekosnya.
"Full? Berapa liter, tuh?" tanya Ines cepat, tidak ingin rugi bandar. "Ogah ah, palingan juga lebih mahal!"
"Setengah tangki, deh?"
Ines tak kunjung menjawab, menatap sejenak ponselnya memastikan sudah ada yang menerima orderannya atau belum. Sesaat kemudian, ia mendesah kesal karena ponselnya dalam keadaan mati habis daya. Ines masukkan asal ke dalam slingbag.
"Lima belas ribu sesuai aplikasi?" tawar Ines pada akhirnya. Sudah terlalu larut dan ia tak memiliki pilihan lain, ralat, tidak ada pilihan.
"Angkutlah!" jawab Dilla tanpa pikir panjang. Lumayan.
"Baru juga gajian, masih aja cari ceperan Dil, Dilla." Ines mencibir, kepalanya menggeleng tak habis pikir. Otak temannya ini memang perlu diperiksa lebih mendalam lagi, sepertinya ada beberapa sarafnya yang tidak tersambung sempurna.
Melanjutkan kuliah di Jogja hanya karena tertarik dengan Klub malamnya.
Dilla hanya menyengir. Keluarganya memang mengirimkan uang dalam jumlah lebih, tapi karena terbawah arus pergaulan dan gaya hidup, uang berapa pun terasa kurang baginya.