14. Generasi Sandwich

24.5K 2.9K 312
                                    

•Happy Reading•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

•Happy Reading•

Ines merapatkan kemeja oversizenya untuk menghalau angin malam Jogja yang menerpa kulit hingga membuat bulu kuduknya meremang. Ia duduk lesehan, bersandar pada pilar gedung dengan ponsel di tangannya, menunggu Hito menjemputnya.

Lelaki itu memberi kabar akan sedikit terlambat, karena harus mengantar David dan Zacky ke apartemen Auxy terlebih dahulu. Mereka semua berencana tidur di sana dan paginya berangkat bersama- sama menuju Bandara.

"Kok masih di sini, Nes? Mana Hito? Biasanya kamu belum keluar dia udah stand by di depan, bodyguard lewat," kata Dilla setengah mencibir, mendudukkan pantatnya tepat di sebalah Ines.

Ines menggeleng geli. "Masih ada urusan dianya."

Selagi masih sempat, Ines mulai menghapus semua jejak yang berhubungan dengan Andra di ponselnya. Untuk urusan menyembunyikan hal seperti ini, kebanyakan perempuan lebih rapi daripada pria.

Ines berdecak, merasa seperti sedang menutupi perselingkuhannya, padahal ia dan Hito tak memiliki kejelasan hubungan apapun.

Bahkan semenjak mereka dekat, ia tidak memberi peluang mereka mendekat— mentok sekedar berkenalan jika terpaksa.
Entah dirinya yang malas direpotkan jika Hito mengetahuinya atau mungkin mungkin bersama Hito sudah lebih dari cukup?!

"Dijemput sama yang mana?" Ines mengulum senyum.

"Yang mana-mana hatiku senang ajalah," jawab Dilla.

Tak perlu saling menjelaskan. Keduanya dapat saling menangkap maksud satu sama lainya. Ines juga pasti lebih dari paham bagaimana dirinya selama ini. Bebas, tanpa mau terikat. Ia ingin menikmati masa mudanya hingga puas.

"Sundel!" maki Ines, menatap Dilla yang tergelak di tempatnya.

Ines dan Dilla sama-sama terdiam, sibuk menekuri ponsel masing-masing. Hingga setelahnya, Ines yang lebih dulu tersenyum begitu isi ponselnya sudah bersih.

"Akhirnya ....." desah Ines lega. "Mau cari makan dulu nggak, Dil?"

"Nggak deh, entar aja nunggu gratisan." Dilla menyengir dan Ines berdecak.

Ponsel Apel gigit keluaran terbaru yang masih dalam genggaman Ines berdering. Senyumnya meluntur saat melihat nama kontak yang memanggilnya. Ia menatap lebih lama sebelum memutuskan untuk mengangkatnya

Ines mengambil napas dalam dan menghembuskannya perlahan. "Ya?" tanyanya ragu.

"Mbak."

"Hehm?" Ines mendengar suara isakan di ujung sana. "Nangis?"

Kafka—adik Ines kian terisak dan Ines memilih diam, membiarkan adiknya menumpahkan segala emosinya.

Ines menggigit bagian bibir bawahnya kuat-kuat, kakinya bergerak resah menanti berita buruk apa yang Kafka bawa. Firasatnya tak pernah baik bila anggota keluarganya menelepon.

Fight for HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang