11. Napak Tilas

26.8K 3K 352
                                    

•Happy Reading•

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading•

Mojokerto, 3 tahun yang lalu.

Rumah peninggalan Almarhum akungnya memang tidak terlalu besar, atau malah tergolong mungil dengan bentuk ruangannya yang memiliki fungsi campu aduk.

Seperti saat ini, begitu keluar dari kamar Ines langsung melihat keluarganya duduk di sofa ruang tamu yang juga digunakan untuk menonton televisi sambil makan. Kemudian menjelang larut malam, dua motor yang sebelumnya terpakir di teras akan di masukkan ke dalam rumah.

Ines mengambil duduk di sebelah Ayahnya yang baru saja menyelesaikan makan malam. Menaruh piringnya di atas meja kaca persegi panjang hingga mengeluarkan suara dentingan saat kedua benda itu beradu.

"Yah, aku mau ngomong ...."

Jatmiko- ayah Ines meminum air dalam gelas hingga tandas, melirik anak sulungnya sekilas. "Mau ngomong apa?" tanyanya sambil meletakkan kembali gelas yang sudah kosong di atas piringnya tadi. "Tunggu sebentar, ya, Ayah taruh ini dulu ke belakang."

"Biar aku aja," Ines mengambil alih kedua benda pecah belah itu di tangannya, lalu membawanya menuju dapur yang terletak di bagian paling belakang rumah mereka.

Hembusan napas beratnya keluar berkali-kali seiring dengan kegiatannya mencuci piring. Pikirannya berkecamuk, resah bercampur gelisah. Namun ia sudah tidak bisa menundanya lagi, meyakinkan diri semakin cepat, maka akan semakin baik juga untuknya segera mendapatkan jawaban.

"Yah ...." Panggil Ines begitu sudah kembali.

"Iya, gimana, Nes? Ada apa?" Jatmiko menurunkan volume televisi hingga membuat Yarni-nenek Ines mendengkus kuat-kuat dan bersiap memprotes.

Namun Jatmiko lebih dulu menyela sebelum ia berhasil membuka mulutnya. "Sebantar ya, Bu, nggak akan lama, lagian juga lagi iklan," ucapnya lembut pada satu-satunya orangtua yang dimiliki.

Ines memilin tangannya gugup. Ia dapat menangkap raut penasaran dari seluruh keluarganya, kecuali sang Nenek yang terang-terangan menunjukkan kemuakan padanya.

"Aku keterima kuliah, D4 Terapi Wicara di Poltekes Solo," ucap Ines dengan sekali tarikkan napas.

Hening.

Hening yang cukup lama.

"Yah," panggil Ines mencicit, nyaris putus asa.

"Uang dari mana?" tanya Jatmiko setelah keterdiamannya, ia mengusap wajahnya kasar. "Biaya kuliah itu pasti nggak sedikit, banyak. Emang ada uangnya?"

Ines menunduk dan meggeleng lemah.

Jatmiko menatap Ines dengan dahi berkerut dalam. "Ayah nggak ada uang buat biayain. Kamu harus ngerti gimana ekonomi kita, kita ini orang susah, jangan muluk-muluk kalau punya mau! Bentar lagi adek kamu juga mau masuk SMA butuh biaya. Lagian buat apa sih kuliah? Ujung-ujungnya juga sama aja, banyak sarjana diluaran sana yang masih jadi pengangguran. Buang-buang waktu. Lulusan SMA bisa langsung kerja juga kok."

Fight for HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang