"Jangan bunuh gw" suara lirih rain membangunkan Reyhan dari tidurnya. Reyhan duduk di sisi lain kasur. Bisa ia lihat keringat bercucuran dari wajah rain.
"Mah tolong rain, dia keji, dia mau bunuh rain. Rain benci sama dia mah." Sebutir air mata lolos dari matanya.
"Bawa Rain ke Revan mah. Hanya Revan yang bisa ngertiin Rain"
"Dunia ini asing buat rain"
"maafin rain mah pah, rain bodoh hiks. Rain gak bisa jaga diri sendiri hiks"
"Revan gw gak bisa tanpa lo. Lo pelangi bagi awan hiks"
"Lo pergi hiks sebelum gw hiks bales perasaan lo."
"Lo pergi ke hiks hiks tempat yang hiks g-gak bisa gw gapai"
"Gw juga cinta sama lo Revan. Bawa gw pergi dari sini, gw mau awan ketemu pelangi"
Entah ada apa dengan jantung Reyhan, jantungnya seakan di hantam sebuah batu besar. Kata-kata rain yang menyebut nama cowok lain selain dirinya membuatnya tak nyaman.
Tak ingin rain berkata lebih jauh, ia segera membangunkannya dengan kasar namun saat tangannya menyentuh kulit rain, reyhan bisa merasakan betapa panasnya tubuh rain. Ia menyentuh dahi rain dengan telapak tangannya."demam" ucapnya.
Dengan langkah santai ia berjalan mengambil wadah dan mengisinya dengan air, mengambil handuk kecil dan merendamnya ke dalam air kemudian menempelkannya ke dahi rain.
Drrkk
Handphonenya bergetar, panggilan masuk dari."ayah rain?" Reyhan menatap rain sebentar kemudian beranjak dan berjalan ke arah jendela yang memperlihatkan susana kota di malam hari. Tangannya menggeser ikon hijau ke atas."halo"
"Halo nak Reyhan, om cuma mau nanya. Rain sama kamu?" Tanya tuan Gilbert.
Reyhan melirik rain."gak om" dustanya.
"Om boleh minta tolong cariin rain? Rain pergi dari rumah seminggu yang lalu. Om gak bisa hubungin dia karena handphonenya di tinggal di rumah. Om takut rain kenapa-kenapa, dia gak bawa sepeser uang saat pergi. Om minta tolong bantu cari rain ya, temannya juga gak mau ngangkat telfon om"
Suara vera terdengar."Hiks maafin vera yah, harusnya vera bujuk kak rain buat pulang saat di sekolah"
"Om mohon ya nak bantu cari rain"
"Ya" setelah mengucapkan itu reyhan menutup panggilannya.
Tut
Reyhan kembali mengingat kejadian seminggu yang lalu dimana rain ikut balap motor, tinggal di apartemen dan esok harinya ia menerima kabar kalau rain bekerja di cafe."kabur heh" Reyhan tersenyum miring sembari berjalan dan duduk di samping rain."gw gak akan biarin lo pergi sebelum gw buat lo sengsara di tangan gw"
***
Keesokan harinya, mata dengan bulu mata lentik itu terbuka. Rain bangun dan duduk bersandar."ugh ini bukan apartemen gw" matanya menatap sekeliling.
Cklek
Pintu kamar terbuka menampilkan ayahnya yang membawa bubur di tangannya."anak ayah udah sadar?" Tuan Gilbert duduk di samping anaknya. Meletakkan bubur di nakas kemudian memegang tangan anaknya lembut.
"Sejak kapan tuan gilbert yang terhormat ini memanggil saya anak?" Pertanyaan menusuk yang dilontarkan rain membuat genggaman ayahnya perlahan terlepas.
"nak kamu anak ayah, ayah sayang sama kamu" tuan Gilbert membelai kepala anaknya.
"Oh" ayahnya menghela nafas kecil kemudian mengambil bubur yang diletakkannya tadi."makan dulu ya, kamu masih sakit. Ayah suapin"
Rain bangkit dari kasur, menatap ayahnya sebentar."saya gak sakit" ucapnya dan berlalu ke kamar mandi.
Tuan Gilbert memegang dadanya yang terasa sesak."maafkan ayah rain". Ia beranjak menatap sendu kamar mandi yang dimasuki anaknya, menghela nafas sekali lagi kemudian keluar dari sana.
Dikamar mandi, rain memikirkan siapa yang telah membawanya kembali pulang."apa orang yang nolongin gw? Tapi siapa dia? Au ah pusing gw, mending mandi terus ke sekolah"
***
Rain menuruni tangga dan terus berlalu melewati keluarga kecil yang sedang sarapan pagi. Hingga sebuah suara yang terdengar lembut namun menjijikkan di pendengaran rain menghentikan langkahnya."kak rain gak sarapan?"
Rain memutar bola matanya."buta ya lo? Kalau gw gak kesana berarti gw gak sarapan. Mata sama otak di gunain nyet. Jangan cuma dijadiin pajangan"
"T-tapi a-a-"
"A-a-a... Udah mata gak digunain, otak juga gak di pake, sekarang mulut lo yang gak jelas. Gw sumpahin gagap beneran mampus lo!" Rain bersedekap dada menatap vera remeh.
"Rain!" Geram ibu vera.
"Ada apa ibu tiri yang tidak terhormat?" Balas rain.
"K-kau! Kau ingin durhaka pada ibumu hah?"
Rain menatap ibu vera mencemooh."well lo hanya jalang yang beruntung menampung benih dari ayah gw." Rain menjeda kalimatnya. Melangkah mendekati ibu vera, setelah berada di hadapannya ia langsung menunjuk wajahnya."jadi jangan harap lo bisa jadi ibu gw. Ibu gw cuma satu! Ngerti!"
"Hiks hiks tapi nak ibu juga ibu kamu hiks" tangis ibu vera pecah di sana.
"Kak! Kak rain udah kelewatan!" Suara vera sedikit meninggi.rain menaikkan alisnya menatap vera datar."oh anak haram udah berani sama anak sah"
"Rain" setelah sekian lama akhirnya ayahnya angkat bicara.
"Apa?!" Balas rain. Ayahnya menghela nafas berat."sudahlah" ucapnya tak ingin memperpanjang masalah dengan anaknya.
"Kalau mau bela mereka, ya silahkan. Saya gak peduli" ucap rain kemudian berlalu dari sana.
"Anak kurang ajar! Harusnya aku membunuhnya bersama dengan ibunya" batin seseorang.
Di jalan, rain menghela nafasnya."Huh.. antagonis ya? Mari kita lihat siapa yang menjatuhkan siapa." Jedanya sebelum tersenyum smirk."Antagonist is back" lanjutnya kemudian menambah kecepatan motornya. Hari ini sang antagonis telah kembali untuk memberantas para PPB (Polos Polos Bangsat).
"Mari kita kacaukan sekolah hari ini"
KAMU SEDANG MEMBACA
Antagonist Or Protagonist (END)
FantasíaTerjebak di dunia novel hanya dengan mengandalkan ingatan yang samar. mampukah rain bertahan?