Poor Diana

184 80 2
                                    

"Gelang itu terlihat jelek di pergelangan tanganmu," cibir Chanyeon

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Gelang itu terlihat jelek di pergelangan tanganmu," cibir Chanyeon.

"Hmm?" sahut Diana tak bisa berkata apa pun. Perlahan wajahnya turun, sepasang manik matanya jatuh ke arah gelang rantai berlian di pergelangan tangannya. Perlahan mengangkat wajahnya lagi. Seperti kilat, Chanyeon sudah hilang dari arah pandangnya dengan derap langkah kakinya yang masih bisa ia dengar.

Diana menghembuskan napas kasar karena kesalnya.

"Dasar Happy Virus Palsu!" decaknya.

Mencoba melengahkan akan kekesalannya pada Chanyeon, Diana memilih beringsut ke kamarnya, menarik koper besarnya, memasukkan enam digit angka yang diberitahukan Chanyeon barusan pada kunci digital.

Pintu kamarnya berhasil dibuka. Penglihatan Diana langsung tersuguhkan oleh nuansa putih; mulai dari tirai, bed cover, hingga tembok.

Dengan cekatan Diana membongkar koper besarnya, menata semua barang bawaannya, hingga yang paling terakhir ia meletakkan boneka lobak kesayangannya yang didominasi warna putih dengan ukuran panjang 20 cm, diletakkan terapit dengan dua bantal yang terjejer di kasur.

"Piy, kenapa hatiku jadi resah begini?" desahnya seraya menatap sendu kepada boneka lobaknya yang disebutnya "Piy" sebagai panggilan kesayangan.

Sungguh, Diana mendadak resah. Seharusnya ia tidak membuat keputusan seperti ini, seharusnya ia membatalkan permohonan tentang Chanyeon yang harus bersedia membayarnya 5 juta Won perbulan jika mau bersikukuh menjadikannya pembantu rumah tangga. Ini jelaslah keputusan gegabah, angkuh, pula terkesan memeras. Ia sungguh menyesali semuanya kini, tapi egois masih saja mengungkungnya agar tetap bersikukuh atas apa yang telah ia putuskan, dalih harga diri.

"Ini sungguh lelucon, ya, Piy? Iya, hidupku memang penuh drama." Perkataan Diana tersendat, lalu mengambang begitu saja. Perlahan, kedua matanya mengembun, ia menjadi sedih nian kali ini.

Bukan. Bukan sedih karena menjadi pemeras Chanyeon, melainkan teringat sesuatu lain; kebahagiaan sekaligus rasa sakit di masa lalu. Ragam rasa yang menjadikannya nekat untuk mengenyam ilmu di Negeri Gingseng ini. Suatu alasan yang tak kunjung pula dapat ia terpenuhi.

"Maafkan aku, Mama ...."

Diana cepat-cepat menyeka air matanya yang mulai membasahi pipi. Ia mencoba tersenyum sendiri untuk dirinya agar tetap tenang dan tegar. Walau berkali-kali gagal,  keputusannya menjejakkan kaki ke Korsel untuk pertama kali hingga kini adalah sudah menjadi takdir. Ia tetap bisa berdiri dengan kokoh hingga sekarang, sekalipun hatinya rapuh akan angan yang tak kunjung digapai, akan angan yang harus ia relakan menyakiti perasaan Mama terlebih dahulu.

Pun. Perkara hal lain ini, tiga bulan itu sebentar seperti yang pernah Chanyeon katakan. Ini sungguh hanya permainan menyebalkan yang membuatnya tetap menjadi pihak yang kalah dengan Chanyeon berhasil memperbudaknya, meskipun ia juga sudah lolos memeras sedikit kantong jajan lelaki sialan itu.

Go Away Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang