Keributan Pagi

6K 398 9
                                    

“BANG, AMPUN DIRIKU YANG BERMATABAK EH BERMARTABAT INI GA BAKAL MENGNYOLONG KOLOR HELLO KITTY LO LAGI.”

“Berhenti, nggak, lo!”

Derap langkah kaki terdengar menggema di rumah besar itu. Dua laki-laki tengah berlarian dengan yang satu membawa sebuah pentung mainan.

Gedubrak! Yang dikejar, terjatuh. Berguling dengan tidak elitnya dari anak tangga ketiga dari bawah. Dirasa tidak parah, yang mengejar, terbahak. Begitu keras, hingga membuat yang terjatuh meringis.

"Mampus, kualat lo sama gue," ucap yang mengejar, Asa.

“Aduh, punggung gue. Bang, tolongin napa!" pinta laki-laki yang tersungkur, Zio.

“Ogah,” tolak Asa mentah mentah.

“Astagfirullah, kakak. Bunda dengar ada suara jatuh, itu kamu?" Wanita bersurai blonde itu mengelus dadanya. Menatap kejut pada dua anak laki-lakinya.

Lantas, untuk sedetik kemudian, wanita itu membantu Zio untuk bangun. "Ada yang luka? Kakak bagaimana sampai jatuh? Abang, kenapa nggak dibantu adiknya?" tanya Rosa beruntun.

“Abang yang mengejar Zio, Bun," tukas Zio.

“Zio mencuri kolor Abang," adu Asa tak mau kalah.

“Benar yang dikatakan Abang?"

Asa yang sudah kepalang kesal, menunjuk Zio yang kini sudah bersembunyi dibalik punggung sang Bunda. "Ngaku nggak, lo?! Gue tempeleng kalau lo berani bohong," ancamnya.

“Abang, bicaranya,” ucap Rosa mengingatkan.

Asa bersungut-sungut, kala menatap Zio yang menggaruk tengkuknya karena ditatap sang ibunda. Asa tau, bocah tengik itu takkan bisa berbohong di hadapan Bunda. Lihat? Bocah itu sudah mengangguk samar dengan tampang polosnya. Hanya untuk membuat Asa semakin naik pitam dan ingin menempeleng kepala adiknya itu hingga pingsan. Ya, tidak mungkin. Asa mana tega.

Rosa mengelus dadanya. Menghela nafas, karena bingung melandanya. Padahal, jika tidak salah ingat ia sudah membelikan anak-anaknya bermacam-macam kolor yang tentu saja masing-masingnya mendapatkan bagian sama rata. Tapi-- ah, sudahlah.

“Minta maaf sama Abang. Setelah itu, mandi! Ini sudah jam 6, tapi kamu malah belum mandi. Lain kali, jangan diulangi, ya?" titah Rosa yang dijawab anggukan oleh Zio.

“Abang juga segera, ya. Setelah ini, sarapan," titah Rosa lagi, yang kali ini pada Asa.

Asa mengangguk, lantas setelahnya menyeret Zio saat dirasa sang budna telah kembali berjalan menuju dapur. Baru saja Zio ingin berteriak, mulutnya sudah dibekap oleh Asa. Ia sudah sangat hafal betul dengan tingkah menyebalkan sang adik keduanya itu.








**









Morning, sayang,” ucap pria tampan yang sudah rapi dengan jasnya itu, Ben.

“Halah, cuma bisa ngomong morning doang segala gegayaan pake bahasa Inggris,” cibir si anak tengah, Reiga.

Dan tentu saja cibiran itu mampu menimbulkan gelak tawa orang yang ada disana. Terkecuali yang dicibir tentu saja.

“Oke, fix. Uang jajan kamu, Papa potong,” tukas Ben sebelum menduduki kursi kejayaannya.

Of course, I don't care. Kan, yang pegang uang Papa itu Bunda. Papa mana ada duit,” ucap Reiga lagi, seraya memasukkan sendok nasi goreng ke mulutnya. Lagi, perkataannya mampu menciptakan gelak tawa dari penghuni ruang makan itu.

“Zavi sarankan, Papa jangan sering-sering main sama Bang Asa. Nanti ketularan bodohnya," celetuk si bungsu. "Main itu sama Mas Ari, dijamin pintarnya," lanjutnya.

“Halah, lo main sama Ari mulu nggak ada pintar-pintarnya, tuh," cibir Asa.

"Soalnya otaknya Zavi sudah terkontaminasi sama Abang. Makanya sulit menerima nutrisi barokah dari Mas Ari," tukas Zio.

“Eh, asal lo tau, ya! Gue itu aslinya pinter, tau!" bantah Asa.

Zio mengendikkan bahunya, "1+1 berapa?" tanyanya.

"Dua!!!" Zavi bersemangat. Mengetuk-ngetukkan sendoknya ke meja. Hanya untuk mendapat tempelengan dari Asa.

"Goblok, itu pertanyaan jebakan. Jawabannya itu jendela," koreksi Asa.

Hanya untuk mendapat gelakan dari Zio dan Reiga.

"Kenapa? Gue benar, ya? Gue tau. Gue memang tampan dan pintar." Asa membanggakan diri.

"Bunda, usaha Bunda menyekolahkan Abang dari Paud sampai sekarang, sia-sia. Baru tau, perhitungan 1+1, jawabannya jendela. Nggak ada koneksinya," rujuk Reiga.

Ben yang daritadi hanya mengamati, kini ikut tergelak, "Kesurupan kali itu abangmu," tukasnya.

"Iya, kah?"

Dengan begitu saja, tiga anak bungsu itu, menyemprotkan air ke wajah Asael. Hanya untuk membuat Asael misuh-misuh perkara seragamnya terkena air, beserta ludah Reiga terkena wajah tampannya, yang entah mulutnya berkomat-kamit apa.


Berbanding terbalik, ibu dan anak keduanya, menggelengkan kepalanya melihat kerusuhan yang terjadi di depannya. Yah, mereka sudah terbiasa dengan kerusuhan yang seakan menjadi kewajiban pada pagi hari. Memang, yang waras di keluarga ini cuma Rosa dan Ari. Untuk sisanya, nggak perlu ditanyakan lagi.

“Mas Ari, etika makan bagaimana, sih?” tanya Rosa, pada anak sulungnya.

“Nggak boleh berisik," jawab si anak kedua dengan lugas.

Sontak, beberapa manusia yang sudah dewasa itu, diam di tempatnya. Mulai menyendokkan nasi ke mulutnya. Ini masih pagi, mereka tak mau membuat keributan tak pasti dengan sang ibu negara.


Ari menatap datar para anggota keluarganya yang sudah makan dengan tenang tersebut. Lantas, ia menghela nafasnya.

Dasar, kapan mereka dewasa, sih?














Friday, 21 May 2021

[✓] Royal FamilyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang