Prolog

1.1K 75 4
                                    

Aku meletakkan secangkir kopi jahe manis di meja. Di depan suamiku yang sedang menyangga dahi dengan telapak tangan. Pada pagi buta, ketika dia baru turun dari Masjid untuk mengisi pengajian Subuh, kenapa malah keadaannya tampak sangat kuyu?

Ah, tak tega rasanya melihat suamiku dalam keadaan seperti ini. Meskipun malam harinya, lagi-lagi aku harus patah hati ketika mendengar dia kembali mengigau dan menyebut nama Ning Zainab, almarhumah istrinya.

Meskipun telah tiada, tapi nama perempuan yang katanya nyaris sempurna itu sama sekali sulit tergantikan. Aku tak meminta banyak dan bisa menggantikannya. Tapi ... paling tidak sedikit saja beri ruang untukku di hatinya.

Ah, sudahlah. Mau bagaimana lagi? Kini, aku adalah istrinya. Pendamping pengasuh pesantren rintisan di kampung kami. Suka tak suka, aku harus menjalani.

Ketika menyadari keberadaanku, Gus Ali mendongak, memandangku seraya berusaha menyunggingkan senyum. Walau menurutku, sepertinya itu sangat terpaksa. "Terima kasih, Ning."

Aku duduk pada kursi di sebelahnya. Mengulas senyum tipis sembari menghela napas dalam. "Diminum dulu kopinya, Gus! Njenengan sudah kelihatan sangat kusut. Wonten masalah lagi?"

Suamiku melempar pandangan lurus ke depan. Kedua tangan memainkan bibir gelas. Dia menghela napas dalam. "Semalam ada anak santri yang madat lagi. Entahlah mereka dapat barang haram itu dari mana. Kalau seumpama kupanggil orangtuanya, jelas akan timbul banyak masalah. Dibiarkan begini, beresiko menulari yang lain. Mengusirnya pun bukan solusi. Kamu tahu sendiri penghuni pesantren ini dari kalangan apa."

Aku mendaratkan tangan di pundaknya. Mengusapnya pelan. "Insyaallah bakal ada jalan, Gus. La Yukallifu Allahu Nafsan Illa Wus'aha. Njenengan dipasrahi amanah, ya karena mampu. Ngoten, toh?"

"Ya ... kamu benar, Ning."

Suamiku mengusap pelan tanganku yang masih berada di pundaknya. Ah, sikapnya acap kali membuatku kebingungan. Apakah dia mencintaiku atau tidak, aku tak tahu. Yang jelas, aku mencintainya. Karena itu, aku sangat cemburu setiap kali dia mengigau. Tapi, aku pura-pura tak mendengarnya.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang