Tak Sama

336 56 6
                                    

Sekitar jam lima lewat lima belas menit, aku kembali ke rumah setelah menyelesaikan sema'an pembacaan Barzanji. Biasanya, aku hanya masuk untuk memperbarui wudhu dan membuat kopi, lantas meletakkannya di meja ruang tamu. Meninggalkannya begitu saja. Lalu, kembali lagi untuk memimpin salat Dhuha berjemaah.

Tapi, karena sedang berhalangan untuk salat, maka aku menyengaja kembali masuk rumah untuk membuat kopi dan menemani suamiku menikmatinya. Sementara kegiatan jamaah salat Dhuha, sudah kupasrahkan pada santri yang paling senior.

Aku berinisiatif untuk mengajak para santri salat Dhuha berjemaah, karena jika sendiri-sendiri, selalu ada saja yang tak melaksanakan dengan berbagai alasan. Malah, beberapa ada yang berbohong. Sangat berbeda dengan pesantrenku dulu. Bahkan, di pesantren yang diasuh Abi pun, tak perlu berjemaah. Semua santri melaksanakan tanpa perlu diawasi.

Yang menjadi alasan tak menemani suamiku menikmati kopi adalah, terlalu sibuk mengurus santri putri. Pun masalah memasak, aku jarang ke dapur. Kubiarkan para khadimah, yang kebanyakan ibu-ibu paruh baya itu, membuatkannya. Toh, Gus Ali memang lebih menekankan padaku untuk mengurus para santri alih-alih urusan masakan.

Dan sekarang, kesempatanku untuk menemaninya menikmati kopi. Sekaligus, mencoba membangun komunikasi di pagi hari. Setelah dini hari tadi, aku sempat sedih sendiri. Siapa tahu dengan bercengkerama sesaat, bisa menjadi penawar untukku.

Ketika masuk rumah lewat pintu belakang, aku langsung menjerang air di kompor. Lantas, meninggalkannya sebentar untuk meletakkan tasbih dan Barzanji di kamar.

Sebelum kembali lagi ke dapur, sejenak lalu, kusempatkan untuk mengintip musalla putra. Sepertinya, suamiku belum turun. Tak lupa, aku memeriksa kamar Haidar, untuk mengetahui, apakah dia masih terlelap atau sudah bangun.

Hari ini, aku akan mencoba untuk kembali mengajak anak sambungku itu sekadar jalan-jalan di kebun. Dan, aku juga akan mencoba menawarkan diri untuk memandikannya.

Saat aku sampai di dapur, ternyata air telah mendidih. Segera saja, aku menyiapkan cangkir yang kubutuhkan. Satu cangkir berisi kopi dan gula dan satu lagi sekantung teh untukku.

Dan setelahnya, aku memeriksa termos di sebelah kompor. Termos air panas yang biasa dipakai untuk membuatkan Haidar susu. Karena air di dalamnya sudah tinggal separuh, kumasukkan sisa air dari panci ke termos.

Aku membawa dua cangkir itu dengan nampan ke ruang depan. Sengaja, ingin mengobrol di sana saja sembari menemani suamiku mengamati keadaan santri putra.

Ternyata, suamiku belum juga masuk rumah. Aku menunggu beberapa menit. Hingga, ketika kurasa telah cukup lama menunggu dan melihat keadaan sudah semakin terang, aku keluar rumah untuk kembali mengecek Gus Ali di Musalla.

"Le, Kiai masih di Musalla?" Aku berdiri di teras. Menghadap pada salah seorang remaja lelaki yang menyapu halaman.

Pemuda itu menghentikan kegiatan, lalu mendekatiku. "Kiai kalau sehabis ngaji, biasanya langsung jalan-jalan di sekitar kebun."

"Oh, sejak tadi, ya, Le? Biasanya pulang kapan?"

"Mungkin sebentar lagi, Mbak Ayu. Soalnya nanti langsung salat Dhuha."

"Oh ... Ya, sudah. Kamu teruskan saja menyapunya!" Aku berbalik, lantas melangkah masuk. Dan sejenak lalu, kulihat pemuda itu mengangguk.

Aku menoleh sejenak ke arah kopi di meja. Menatapnya dengan sedikit rasa kecewa. Rupanya selama ini, kopiku dinikmati ketika telah dingin.

Aku mendekati meja dan mengambil cangkir yang berisi teh. Lantas, membawanya ke dapur. Kuminum teh itu hingga tandas. Lalu, meletakkan cangkir di kitchen sink.

Untuk meredam kekecewaan, kuputuskan untuk ke dapur saja. Siapa tahu, mengobrol sembari membantu para khadimah, bisa membawa suasana sedikit nyaman.

"Wah, Mbak Ayu Zia, tumben ke dapur?" salah satu wanita paruh baya berbadan kurus dan sedikit pendek menyapaku. Dia sedang memasukkan kayu ke tungku.

Aku tersenyum saat menoleh padanya. Panggilan khas di sini, Mbak Ayu. Kemarin aku sempat kegelian, tapi sekarang sudah mengerti, karena suamiku sudah menjelaskan. Mbak Ayu adalah sebutan bagi Ning atau Bu Nyai, sedangkan Non bagi Gus atau Kiai.

"Inggih, Lek. Lagi halangan buat salat. Haidar juga masih tidur. Dan Gus Ali sedang jalan-jalan pagi." Aku melangkah ke bale-bale pada sisi dapur. Duduk untuk menemani salah satu khadimah mengupas manisa.

"Oh, Non Ali memang suka jalan-jalan pagi, Mbak Ayu. Kalau pas Mbak Ayu Zainab masih ada, biasanya berdua keliling kebun. Bahkan, kadang sampai jalan aspal sana." Ucapan wanita yang mengupas manisa di hadapanku ini, sedikit menimbulkan ngilu di hati.

"Oh, begitu. Mungkin karena saya terlalu sibuk sama anak santri, ya?" Aku tersenyum untuk menyembunyikan perasaan.

"Tapi, sampean ini memang begini." Wanita yang berada di depan tungku, mengangkat ibu jari.

Aku mengernyit memandangnya. "Maksudnya bagaimana, Lek?"

"Sampean itu teges dan telaten kalau sama santri. Kalau Mbak Ayu Zainab ya cuma ngimami sama ngajari ngaji. Endak sampe keliling-keliling kamar. Kadang anak-anak itu sembunyi biar endak ikutan jamaah."

"Oh ...." Aku kembali tersenyum.

"Mbak Ayu Zainab itu suka masak. Dia itu setiap hari bikin kue atau masakan macam-macam. Non Ali, kan, memang suka makanan enak, Mbak Ayu," salah satu wanita lain yang sedang sibuk mencuci piring menimpali.

Aku hanya tersenyum. Lantas, sejenak lalu teringat nasihat salah satu ustadz di pesantren.

"Untuk menyenangkan lelaki itu mudah. Cukup puaskan masalah perut ke bawah. Dan salah satunya, kenyangkan perutnya."

Ya ... kekuranganku adalah, aku tak pandai memasak.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang