Pangkal Masalah

277 47 4
                                    

Lima hari berlalu sejak kejadian dini hari itu. Kini, Khoiriyah sudah mulai berkegiatan kembali. Kemarin aku berpesan agar kembali berkegiatan ketika obat telah habis dan dia benar-benar siap. Tentu saja, aku selalu berpesan kepada teman-temannya untuk bergantian menemani dan tak membiarkannya sendiri. Sekadar mengobrol dan bercanda.

Karena Khoiriyahbmasihbsaja menutup diri, maka aku berinisiatif untuk mencari informasi kepada beberapa santri. Mungkin saja di antara mereka ada yang mengetahui, kira-kira permasalahan apa yang tengah dialaminya.

Seperti kali ini, pada jam istirahat, aku memanggil salah seorang santri yang ternyata masih tetangga jauh Khoiriyah. Rumahnya hanya beberapa ratus meter saja dari tempat tinggal gadis itu.

Aku duduk berseberangan dengan santri putri tetangga Khoiriyah itu di ruang tengah. Dan setelah menanyakan beberapa pertanyaan basa-basi perihal rumah dan keluarganya, aku mulai menanyakan hal-hal mengenai Khoiriyah.

"Jadi, apa kamu tahu kira-kira Khoiriyah sedang mengalami masalah apa?"

"Kurang tahu jelas, Mbak Ayu. Saya cuma tahu kalau ibunya berangkat ke Taiwan habis lebaran itu. Ayahnya, kan, kawin lagi."

"Masyaallah. Terus, sekarang siapa yang biasanya ngirim?"

"Bu Leknya. Tapi memang bapaknya itu galak, Mbak Ayu. Dulu suka mukulin ibunya Khoiriyah. Saya pernah tahu pas masih SD. Terus yang kawin lagi sudah lama, sih. Tapi cerainya baru-baru ini. Setahun atau dua tahunan mungkin."

"Oh, begitu." Aku terdiam sesaat. Menghela napas dalam. Melempar pandangan ke lantai. Mencoba mencerna cerita yang telah kudengar.

Gadis remaja yang masih membutuhkan figur kedua orangtua. Mungkin saja sejak kanak-kanak sudah akrab dengan semua konflik dan pertengkaran kedua orangtuanya. Dan bisa jadi, semua emosinya terkubur lama di hati. Baru meledak akhir-akhir ini.

"Apa sebelum kejadian itu, Khoiriyah kenapa-napa? Dikirim atau bertengkar sama temannya?"

"Ehm ...." Gadis remaja berperawakan kurus di depanku ini menjeda kalimatnya beberapa saat. Dahinya berkerut. Tampaknya berusaha mengingat-ingat sesuatu. "Tidak ada apa-apa. Cuma sepertinya bertengkar sama Titin. Tapi, tidak sampai ramai. Cuma adu mulut sebentar, kok."

"Ehm ... kalau begitu, kamu boleh kembali ke asrama. Tolong panggilkan Titin, ya?"

"Inggih, Mbak Ayu."

"Terima kasih banyak bantuannya. Dan aku benar-benar nitip sama kamu dan semua santri, bersikap baiklah padanya! Kalian adalah saudara seiman dan seperjuangan. Pun kalian juga saudara dalam ilmu. Kalian semua adalah anak-anak kami."

Remaja itu mulai beranjak. Berjalan mundur beberapa langkah sembari menunduk. Lantas berbalik setelahnya.

Alhamdulillah, pendidikan adabiyah yang kuajarkan pada mereka, perlahan mulai dipraktekkan.

Aku menunggu sedikit lama, tak seperti biasanya. Muncul sedikit curiga dalam hati, khawatir gadis bernama Titin itu ketakutan karena kupanggil. Akhirnya, aku berinisiatif untuk memanggil sendiri. Karena, hanya tersisa sepuluh menit saja hingga bel sekolah berbunyi.

Aku beranjak dari sofa sembari mengembuskan napas. Tapi, belum juga melangkah, sesosok gadis telah datang sembari menunduk. Langkahnya sangat pelan dan tampak ragu-ragu. Sepertinya dia segan.

"A-assalamualaikum." Suara gadis berkulit kuning langsat itu sangat lirih. Bahkan, hampir-hampir saja aku tak mampu mendengarnya.

"Kamu Titin? Sini, sini, Nak!"

Gadis itu melangkah perlahan. Sementara aku kembali duduk.

"Duduk di situ!" Nada suaraku kubuat selembut mungkin. Aku tak mau gadis ini ketakutan. Karena, belum tentu juga dia bersalah.

"Inggih." Titin duduk sambil tetap menunduk dalam.

"Jangan takut! Aku tak akan memarahi atau menta'zirmu. Aku hanya ingin menanyakan sesuatu. Apakah benar sebelum kejadian kemarin, kamu bertengkar dengan Khoiriyah?"

"I-inggih, Mbak Ayu. S-saya mohon maaf. Saya tak bermaksud menjahati Khoiriyah." Nada suara gadis di hadapanku ini bergetar. Rupanya dia masih ketakutan.

"Iya, iya, aku tahu. Aku hanya ingin tahu apa penyebabnya." Aku berusaha menenangkan. Karena aku tahu jelas bahwa remaja jika semakin ditekann, dia akan semakin menghindar dan menutup diri. Aku belajar ini ketika khidmah di pesantren dulu. Mengamati tiap kali melakukan sidang terhadap para santri yang bermasalah.

"A-anu. Khoiriyah tidak piket nyapu halaman. Dia malah tidur habis sholat Ashar. Lalu kami bertengkar. I-itu saja."

"Oh, itu. Apa kamu ingat perkataan apa saja yang sempat kamu ucapkan padanya? Mungkin ada yang membuatnya sangat terluka."

"S-saya tidak ingat. Saya hanya mengoceh. Apa saja saya katakan. Ya bapaknya, ya kelakuan Khoiriyah."

"Bapaknya? Kamu bilang apa tentang bapaknya?"

"T-tukang kawin. T-tapi saya tak bermaksud menyakiti Khoiriyah. Soalnya dia juga bilang bapak saya tukang gorgor sapi."

"Gorgor itu apa?"

"Itu, melukai pantat sapi, kalau mau karapan. Tapi, itu dulu, Mbak Ayu. Sekarang bapak sudah tidak pernah karapan sapi lagi, sejak ikut rutinannya Non Ali."

"Oh, macam itu. Tak elok, Nak, saling hina dengan membawa-bawa orang tua. Bukankah telah dilarang secara jelas oleh Rosulullah?"

"I-iya."

"Kamu sudah minta maaf?"

"Be-belum."

"Aku sarankan, minta maaflah! Minta maaf bukan berarti kamu yang salah dan Khoiriyah benar. Kalian berdua sama-sama keliru. Hanya saja, itu menjelaskan siapa yang hatinya lebih lapang."

"I-inggih."

"Kalau ada masalah lagi dengan teman-temanmu, baiknya laporkan padaku. Jangan ambil tindakan sendiri! Merusak hubungan pertemanan nantinya. Kamu jadi merasa bersalah gara-gara bertengkar kemarin, kan?"

"I-iya. Saya jadi tak nyaman."

"Padahal, itu bukan salahmu. Tapi karena itu terjadi setelah kalian bertengkar, jadinya kamu yang merasa paling bersalah." Aku menjeda kalimatku dengan helaan napas.

"Sekarang, kau boleh pergi. Ingat pesanku, yang rukun dengan teman, ya?"

Titin mengangguk. Lantas, mendongak perlahan menatapku. "Terima kasih banyak, Mbak Ayu."

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang