Hari yang Sibuk

286 49 3
                                    

Hatiku sangat resah dan tak nyaman. Tak melaksanakan sholat Dhuha karena ada tamu. Pun, tak mungkin memaksakan diri, kembali terlambat masuk kelas. Bukankah, kebiasaan terlambat sama dengan korupsi waktu? Mencuri hak para santri. Ah, dilema rasanya.

Dan rasa tak nyaman ini pun ditambah rasa cemas karena santri baru yang sudah menunjukkan gelagat tak betah. Kulihat tadi ketika ibu dan kakaknya pamit, mata Ayna si santri baru itu, berkaca-kaca. Bahkan, ucapannya yang masih sangat kuingat, "Ibu enggak adil, kakak enggak mondok, tapi aku mondok. Wong kakak sama saja mainan HP terus."

Semoga saja gadis kecil itu tak berulah. Aku hanya bisa berdoa agar tak terjadi masalah di kemudian hari.

Dan pada jam pelajaran berikutnya, kulalui dengan mood yang sangat kacau. Baru kali ini aku mengalami rasa hati sangat berantakan.

Aku keluar kelas dengan dahi berkerut. Berulang kali menghela napas dalam. Bahkan ketika mengajar tadi pun, aku melakukan hal yang sama.

"Saya duluan, nggeh, Neng?" Dik Iin yang lewat di hadapanku, menunduk sembari terus melangkah. Sementara aku yang sedikit melamun tadi, tiba-tiba saja tersentak kaget.

Astaghfirullah .... Apa yang sudah kulakukan?

Seketika itu aku menjawab sapaannya dengan anggukan dan senyum yang sangat kupaksakan. Dan, tiba-tiba aku ingat kalau aku harus menyiapkan makan siang untuk suami dan anakku. Karena pagi tadi, telah berpesan kepada para khadimah untuk membiarkanku saja yang menyiapkan.

Ya Allah ... mengapa hari inu sangat kacau?

Aku melangkah cepat menuju rumah untuk berganti pakaian dan meletakkan kitab-kitabku. Tak lagi menghiraukan para santri yang berjalan biasa saja ketika berpapasan denganku. Aku tak terlalu memedulikan mereka. Wacana tentang adabiyah, sementara harus kukesampingkan demi meraih hati suami. Toh, cepat atau lambat, mereka akan terbiasa juga. Nanti-nanti saja kalau mood-ku sudah membaik, aku akan kembali menggembleng mereka.

"Umma ...." Tiba-tiba saja Haidar berlari ke arahku ketika aku masuk rumah dari pintu belakang. Dan seeprti biasa, seorang santri membersamainya.

"Duh, Umma lagi terburu-buru, Nak. Sebentar, ya? Habis ini kita makan sama-sama kayak pagi tadi." Kau sedikit menunduk, mencoba melepas pelukan tangannya dari pinggangku.

Lagi, putra sambungku itu memajukan bibirnya dan menunjukkan ekspresi cemberut. "Umma enggak mau main sama Non lagi, ya? Tadi juga mandinya enggak ditemenin."

"Bukan, Sayang ... Umma masih mau menemani, kok. Sekarang mau nyiapin makan siang, dulu, ya? Terus langsung mengimami jemaah Dzuhur."

"Ayo, Non, kita main di luar dulu." Santri yang membersamai Haidar kini berusaha menariknya untuk bermain di luar.

Akhirnya, meskipun agak sulit dibujuk, Haidar mau juga kutinggal sebentar. Aku kembali berjalan dengan tergopoh ke kamar. Meletakkan kitab-kitab di lemari. Lantas berganti pakaian dan segera menuju dapur.

***

"Biar saya saja yang bikin sambel dan menggoreng ayamnya, Mbak Ayu. Sudah Adzan Dzuhur. Mbak Ayu naik saja ke musholla buat memimpin jemaah!" Mbak Rifah mencoba meminta sudip dari tanganku.

Aku terdiam sebentar. Sejatinya, ada dilema dalam hati. Meneruskan atau membiarkan para khadimah saja yang menyiapkan makan siang.

"Ehm ... sedikit lagi, deh, Mbak. Kalau Mbak yang nerusin, jadinya bukan saya yang masak."

"Oh, ya, sudah."

"Mbak siapin piring dan perlengkapannya saja! Nanti tolong ditatakan di ruang makan saja, ya?"

Aku meneruskan untuk memasak hingga beberapa menit sesusai Adzan berkumandang. Dan setelahnya, kembali tergopoh-gopoh masuk rumah untuk segera bersuci dan menuju musholla.

***

Pukul empat sore, setelah jemaah Ashar dan mengisi pengajian sore, aku turun dari mushola gegas dan segera menuju dapur.

Tampak tiga khadimah paruh baya sudah kembali sibuk untuk menyiapkan makan sore bagi para santri. Beberapa santri piket pun sudah mulai membantu pekerjaan mereka. Aku menuju kompor di salah satu sisi dapur, mulai menggoreng sisa ayam ungkep tadi siang.

Salah seorang santri piket membantuku. Menyiapkan piring, dan membawa lauk yang sudah ku masak ke ruang makan.

Aku baru keluar dari dapur beberapa saat sebelum para khadimah pamit pulang. Setelahnya, aku menuju kamar mandi untuk bersuci, dan kembali memeriksa para santri agar segera ke musholla untuk melaksanakan sholat Maghrib berjemaah.

Lagi-lagi, sore ini aku tak menemani Haidar mandi. Bahkan tadi aku sempat melihatnya berlarian hanya dengan celana pendek saja, kabur dari santri yang mengasuhnya.

Ternyata, memasak tiga kali sehari itu cukup melelahkan. Menjadi sempurna seperti Ning Zainab, cukup berat juga. Pantas saja, Gus Ali sulit melupakannya.

Tapi untunglah, di malam hari, aku bisa sedikit bersantai. Masih bisa menyemak kegiatan mengaji bakda Maghrib. Dannsetelahnya, kembali menyapa Ayna, memeriksa dan memastikannya benar-benar betah.

***

Aku membuka mukenah, lantas melipat dan menggantungnya di kapstok yang ada di belakang pintu. Menghela napas dalam beberapa kali. Merasakan bahwa hari ini adalah hari yang cukup sibuk.

Aku berbalik, untuk mengambil kitab dari lemari. Aku berencana untuk segera mutholaah agar bisa tidur cepat. Rasanya badanku remuk. Mungkin ini efek dari kelelahan psikis yang kurasa seharian ini.

"Neng .... Temani aku ke pengajian rutin, yuk!" Suara suamiku tiba-tiba membuatku tersentak kaget. Aku memutar tubuh seketika, dan kulihat Gus Ali melangkah masuk kamar.

"Pengajian, Gus? Di mana?" Aku membelalak seketika.

"Di utara sini, sekitar satu kiloan dari sini. Aku akan mengenalkanmu pada istri Kepala Desa. Karena rencananya, aku akan mengadakan jamiyah sholawat bagi muslimah. Nanti, kamu yang memimpin, ya?"

Oh, Tuhan .... Kupikir aku akan beristirahat cepat. Nyatanya masih ada acara lagi.

Aku mengangguk pelan. Berjalan menunduk dengan langkah gontai ke arah lemari. Mengambil pakaian untuk kupakai ke acara pengajian kali ini.

Dan, tiba-tiba saja, tangan suamiku mendarat di pundak, membuatku menoleh seketika. "Kamu sakit, Neng?"

Aku menggeleng pelan. "Mboten, Gus. Hanya sedikit capek."

Gus Ali mendaratkan kedua telapak tangan di pundak, lantas sedikit menarik dan membuatku berhadapan dengannya. Lantas memijat-mijat pundakku.

"Kalau capek, aku berangkat sendiri saja." Gus Ali merendahkan wajah, menyamakannya dengan wajahku. Matanya menatapku hangat dengan senyum yang membuatku ... terpesona.

Sontak aku menggeleng cepat. "Mboten, mboten. Aku ikut saja."

"Ya, wis. Ayo, siap-siap, ya?"

Meskipun kelelahan, tapi sikap suamiku barusan, membuatku seketika bersemangat. Tapi, kalau ada acara pengajian, itu artinya ... masakanku tak akan kami nikmati.

Duh, rasanya sia-sia usahaku sore tadi.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang