"Haidar mau mandi sama Umma apa Mbak?" Aku duduk di bibir ranjang, menatap anak tiriku yang masih mengucek-ucek matanya. Aku mencoba menampilkan ekpresi wajah paling ramah. Berharap putra sambungku ini bisa luluh hari ini.
Bocah empat tahun itu celingukan. Memandang bergantian antara aku dan seorang santri yang berdiri di sampingku.
"Sama Umma, mau? Kan, Haidar sudah besar. Nanti, Umma bawa jalan-jalan. Kita beli jajanan di barat sana, ya?"
Haidar mengernyit. Dia menunjuk pada gadis di sebelahku. "Mbak."
Oh, Tuhan ... Sudah hampir tiga minggu ini, Haidar belum juga mau kumandikan. Dia hanya mau ketika kuberi jajanan saja.
"Sama Umma saja, ya? Sekali ... saja. Umma janji, deh, ya? Kita beli es krim ke pasar Klakah. Bagaimana? Nanti Umma bujuk Abuya biar ngenterin." Aku mengatur nada suaraku selembut mungkin.
Dan kini, bocah bermata tajam ini menatapku penuh selidik. "Tapi janji, loh?"
"Iya, janji, deh. Ya?"
"Tiga esnya."
"Dua."
"Oke."
Akhirnya, dia mau menurutiku. Kuulurkan tangan, menuntunnya ke kamar mandi. Tapi sebelumnya, berpesan pada santri yang biasa mengasuh untuk menyiapkan pakaian.
Dan pagi ini, untuk pertama kalinya, aku berhasil mengajak anak tiriku itu untuk mandi dengan kutemani. Dan seperti yang telah kuketahui, anak berumur empat tahun, tak selayaknya dimandikan. Jadi, aku hanya mengarahkannya untuk mandi, agar ke belakang nanti dia bisa terbiasa mandi sendiri.
Untuk kali ini, aku sengaja membiarkan pintu kamar mandi terbuka, karena aku ingin mengawasi putra sambungku ini sedikit agak jauh. Ini hanya caraku agar dia terbiasa mandiri. Tapi, sesekali kubantu ketika dia mengalami kesulitan.
Dan syukurlah, latihan mandi bersama putra sambungku kali ini berjalan lancar. Meskipun melihat dari banyaknya kesulitan yang terjadi tadi, membuatku berpikir bahwa selama ini Haidar terlalu banyak dibantu. Dan ini masuk akal, karena selama ini yang mengasuhnya adalah para santri dan sesekali khadimah paruh baya. Membuatnya jadi dimanja dan kurang mandiri.
***
Aku duduk emok dengan kedua tangan menumpu pada bangku. Kelas yang kami pakai belajar hanya kelas tanpa kursi, hanya bangunan berukuran 20 meter persegi dengan bangku-bangku panjang sebagai pelengkap kegiatan belajar para santri. Sementara bangku pengajar, hanya bangku yang sedikit lebih lebar tapi berukuran lebih pendek.
Setelah menerangkan pelajaran pagi ini, aku memberi tugas pada para santri. Kebetulan, pagi ini kami belajar Bahasa Arab. Aku mengawasi mereka dari bangkuku. Tampak semua sibuk dengan tugas yabg kuberikan. Tapi, sesekali kulihat satu dua santri yang sedikit berbicara pada temannya, mungkin untuk meminjam alat tulis, atau mungkin karena kebingungan mengisi jawaban.
Dan setelah beberapa menit, aku menyuruh mereka untuk mengumpulkan tugas. Lantas kupanggil satu di antara mereka untuk membagikan tugas itu secara acak untuk dikoreksi bersama.
Sebenarnya, soal dan pelajaran yang kuberikan, sangat-sangat mudah dan mendasar. Hanya saja, seperti yang diketahui, aku ini seolah-olah dipasrahi untuk membenahi rumah yang telah lama kosong. Sangat kotor, berantakan, dan ada bagian-bagian rumah yang rusak. Aku mencoba sabar dengan ini. Tantangan yang tak mudah.
Kami membahas jawaban dari soal-soal yang kuberikan. Lantas, kembali meminta lebar tugas itu agar dikumpulkan untuk kunilai.
Aku menilai satu per satu. Tak terlalu buruk. Dari sepuluh soal, ada yabg salah tiga, empat, satu, bahkan ada yang benar semua. Kupanggil satu per satu santri yang tugasnya usai kunilai.
Tapi ... seketika mataku membulat saat ada lembar tugas yang sama sekali tak terisi dengan benar. Bagaimana mungkin soal semudah ini, hanya sepuluh soal, dan rata-rata juga sangat bagus, tapi satu santri ini tak ada satu pun yang benar. Dan ... jawabannya benar-benar ngawur.
Khoiriyah, nama yang tertulis pada lembar soal. Kupanggil nama itu. Seorang remaja berkulit kecokelatan dan berbadan berisi, berdiri dan maju mendekatiku. Dia adalah gadis yang selama ini sedikit menarik perhatianku. Gadis pendiam dan berwajah murung.
Dia duduk di hadapanku. Kuserahkan tugasnya. Dan, sebelum dia beranjak, segera aku bertanya, "Kamu anak mana, Nduk?"
Gadis itu menatapku dengan ekspresi datar. "Ranu pakis."
"Ke timur Klakah?"
Dia hanya mengangguk.
"Kamu mengalami kesulitan?" aku berusaha berbicara dengan nada lembut.
Dia menggeleng. Lantas, tanpa bertanya padaku, gadis berwajah murung itu beranjak gegas dan melangkah sembari menunduk. Kembali ke tempatnya.
Aku hanya bisa menghela napas dalam. Pikiranku masih kebingungan. Anak ini sepertinya memiliki sebuah rahasia yang disembunyikannya. Tapi apa?
Dan karena tak ingin terlalu memusingkannya sekarang, segera kuabaikan hal ini. Akan kubicarakan dengan suamiku saja nanti. Atau ... mungkin dengan Dik Iin. Karena menurutku, dia adalah orang yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Complete) Jurnal Pesantren
SpiritualFauziah, perempuan yang baru menikah di usia yang sangat matang, 33 tahun. Dengan pengalaman sebagai ustadzah di pesantren tempatnya menimba ilmu, dia berpikir bahwa kehidupan akan berjalan mudah. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba seorang Kiai muda be...