Nazhor

383 54 1
                                    

Ponsel yang berada di sampingku, berdengung panjang. Membuatku yang sedang membaca dzikir setelah salat Dhuha, seketika mengalihkan pandangan.

Kuletakkan tasbih dan segera meraihnya. Nama Abi muncul di layar. Sejenak lalu, kuperhatikan angka 08.12 pada penunjuk jam digital di layar.

"Assalamualikum, Bi."

"Waalaikumsalam. Abi sudah di depan balai santri sama Ummah kamu."

"Oh, inggih-inggih. Kulo segera ke sana."

"Ya, wis. Abi tunggu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam."

Aku segera beranjak dari sajadah, setelah panggilan terputus. Berganti pakaian dan memasang hijab.

Aku tak menyangka, kalau orangtuaku akan datang sepagi ini. Kupikir, mereka akan datang sekitar jam sembilan nanti. Karena kemungkinan tamu dari Lumajang akan datang sekitar jam sepuluh nanti.

Setelah selesai dengan semua keperluan, aku bergegas melangkah ke luar kamar. Lalu berjalan dengan cukup tenang setelahnya.

Aku berjalan ke luar gerbang pesantren, langsung mencari Abi. Dan, seketika kutemukan orangtua lelakiku itu sedang mengobrol dengan lelaki paruh baya, di depan balai pertemuan santri. Dia berpenampilan serupa Abi. Bersarung cokelat tua dengan koko krem. Pun memakai songkok putih. Sekilas, wajahnya sangat familiar. Dan baru kulihat jelas kalau beliau adalah Kiai Ishak dari Malang. Pengasuh salah satu pesantren modern di Kota Apel itu.

Aku berjalan pelan, melewati Abi untuk segera mencari ummah, alih-alih menyapa orangtua lelakiku. Tentu saja, aku segan mengganggu obrolan dua lelaki sepuh itu. Tapi, aku yang sedikit menunduk, melirik pada Abi yang seketika dijawab dengan anggukan pelan.

Ternyata, ummah sudah duduk pada salah satu kursi di balai pertemuan. Ditemani seorang wanita seumuranku. Dia adalah khadimah yang biasa membantu ummah di rumah.

Aku segera mencium punggung tangan orangtua perempuanku itu. Pun tak lupa bersalaman dengan perempuan di samping ummah.

"Zain sudah ditelepon, Mah?" Aku duduk di kursi di sebelah ummah.

"Sudah. Mungkin masih mengajar. Tadi dia bilang sedang di kelas."

"Oh ..." Aku hanya mengangguk-angguk.

Kami mengobrol sebentar, membahas Abi dan Kiai Ishak yang ternyata pernah menjadi teman dekat ketika mereka nyantri di pesantren ini. Memang banyak juga alumni pesantren ini yang kini menjadi pengasuh pesantren-pesantren besar. Salah satunya Kiai Ishak. Beliau cukup terkenal. Karena, pesantren yang diasuhnya, termasuk salah satu yang terbesar di Malang.

Santri yang saat ini belajar di pesantren ini pun, banyak yang merupakan putra-putri Kiai. Karenanya, cukup mudah menangani mereka. Meskipun santri sudah berjumlah ribuan, tapi jarang ditemui kasus atau hal-hal yang memusingkan. Selain karena pengurus pesantren yang berpengalaman, juga para santri dan wali santri yang memang sudah paham tentang adab-adab tholibul ilmi.

Beberapa menit kemudian, Abi masuk balai pertemuan. Duduk pada kursi yang berhadapan denganku. Mengobrol beberapa saat, hingga ketika bel istirahat berbunyi, aku segera beranjak untuk menuju pos siaran yang berada di salah satu sisi ruangan balai pertemuan ini.

Aku berpesan kepada petugas siaran, untuk menginformasikan agar Azahra segera menuju balai pertemuan. Dan ketika aku kembali ke tempat Abi dan ummah menunggu, kulihat Zain pun sudah datang.

***

Di ruang tengah ndalem Kiai, aku duduk menunduk di sebelah ummah. Jantungku rasanya sudah berdetak tak karuan. Sementara itu, Abi dan Kiai Fadhil duduk bersebelahan di dekat lelaki berperawakan tinggi dengan jenggot yang menghiasi wajahnya. Kulitnya cerah dan berwajah simpatik. Hanya itu kesan yang kudapat. Karena, aku hanya melihatnya sekilas sebelum terus-menerus menunduk sembari memilin-milin ujung jilbabku.

"Mendongaklah sedikit, Nak! Biar Gus Ali bisa melihatmu dengan jelas." Suara bariton Abi, seolah-olah telah membuatku kehilangan jantung. Aku benar-benar tak bisa merasakan detakan jantung. Terlalu cepat.

Aku mendogak perlahan, tapi masih tetap tak mengalihkan pandangan dari lantai. Entahlah, aku tak mampu untuk sekadar memandang ke arah Gus Ali. Ah, aku tak peduli lagi. Aku tak terlalu butuh untuk melihat wajahnya.

Pertemuan tak sampai satu jam ini, benar-benar seperti sport jantung bagiku. Padahal sebelum-sebelumnya, aku pernah melakukan yang serupa, tapi mengapa tak segugup saat ini?

Gus Ali menanyakan beberapa hal, termasuk kesiapanku menerima putranya yang masih empat tahun itu. Pun aku diberi kesempatan bertanya. Dan, karena terlampau gugup, aku sempat kebingungan. Tapi untunglah, aku masih ingat untuk menanyakan kesediaan Gus Ali untuk bersabar denganku yang tak terlalu pandai memasak ini. Selain itu, aku memintanya untuk banyak-banyak membimbingku. Karena memang sama sekali tak memiliki pengalaman berumah tangga.

Pertemuan diakhiri dengan Kiai Fadhil, Abi, dan Gus Ali yang beranjak, lalu pergi ke ruang tamu. Lalu, beberapa saat kemudian, Bu Nyai Nadzifah datang untuk menemui kami. Bercakap-cakap beberapa saat sembari mempersilakan kami untuk menikmati suguhan.

Abi dan ummah pulang sekitar bakda Dzuhur. Dan untungnya Abi tak melupakan dompet dan beberapa barang pesanan Zahra.

Sepeninggal orangtuaku, aku sempat mengobrol dengan Zain di balai pertemuan. Dan alhamdulillah, kesan yang didapat adikku tentang Gus Ali, cukup baik. Tinggal menunggu bagaimana keputusan selanjutnya.

Tapi, yang sangat heboh tentu saja Zahra. Dia yang tak kami beritahu sebelumnya tentang ini, sempat merajuk, tapi tak menghilangkan antusiasme dan kehebohannya.

Dan lagi-lagi, ada rasa sedih jika mengingat bahwa Zahra harus bisa hidup sendiri tanpa bantuanku lagi.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang