"Ini kamar mandinya, Umi. Kulo mau ambil mukenah sama sarung dulu." Aku berisyarat ke arah kamar mandi.
Ummi Miftah mengangguk, lantas melongok ke kamar mandi. "Aku duluan, yo, Dik?" Ummi Miftah menoleh kepada ummah.
"Inggih, Ning." Ibuku mengangguk.
"Ummi mboten mandi saja? Biar seger. Air di sini segar sekali, loh. Jauh sama air di Pasuruan dan Nguling. Kalau di sana, kan airnya agak hangat. Di sini itu kayak mandi di sumber."
"Iya, sih. Enak mandi saja, mungkin." Ibu tiriku itu mulai membuka hijab. Melangkah ke arah mushola dan meletakkan hijabnya di lantai.
"Umma menunggu di kamar saja, nggeh? Sambil tiduran."
"Ide bagus itu." Ummah tersenyum.
Sementara itu, kulihat istri kedua Abi melangkah masuk kamar mandi. "Tiduro sing enak, Dik. Kayak e aku bakal lama ini mandinya, airnya seger." Suara Ummi Miftah sedikit lantang dari kamar mandi.
"Inggih," jawab ummah seraya melangkah beriringan denganku ke kamar.
Untuk sejenak, aku kembali tersadar kalau Ummah dan Umi Miftah adalah kakak dan adik madu. Mereka adalah istri-istri Abi. Selama ini, aku tak terlalu memperhatikan ini, meskipun sejatinya masih menjaga jarak dengan kedua ibu tiriku itu.
Dan sejenak lalu baru kusadari tentang dua hal. Yang pertama, ternyata perasaanku tak benar-benar plong kepada kedua ibu tiriku itu. Masih ada sebersit curiga dan segan. Tak benar-benar menganggap mereka seperti ibu kandung. Dan satu lagi, apakah mereka masih merasa cemburu satu sama lain?
Tapi, aku berusaha menepis dan mengabaikan perasaanku itu. Aku masih tak memiliki keberanian untuk bertanya. Meskipun terbersit pembandingan antara aku dan almarhumah Neng Zainab dengan mereka. Jikalau Ummah dan Umi Miftah bisa menerima dengan lapang dada, lantas mengapa aku begitu cemburu? Bukankah Neng Zainab sudah meninggal?
Aku dan Ummah duduk bersisian di bibir ranjang, setelah aku kembali dari memberikan mukenah dan sarung suci untuk Umi Miftah. Tangan lembut ummah menanangkup hangat tanganku.
"Ummah menginap di sini, ya? Biar lusa kami antar. Ya, ya?" aku merengek, menampilkan wajah memelas dengan mengerutkan dahi dan menurunkan ujung alis. Berharap ummah bersedia memenuhi keinginanku.
"Ya endak bisa, toh, Nduk. Di rumah endak ada orang."
"Sekali ini ... saja." Aku memajukan bibir.
Tangan ummah kembali membelai lembut pipiku. Menatapku hangat. "Kamu kenapa? Endak kerasan? Nak Bagus berbuat baik, kan, sama kamu?"
"Kangen saja sama Ummah. Pingin tidur meluk Ummah."
"Halah. Selama ini kamu jarang di rumah. Lebih kerasan di pesantren. Pas nikah kok malah ngegombal pakai ngomong kangen Ummah segala." Tangan Ummmah kembali mendarat di telapak tanganku. Menepuknya lembut.
Aku seketika memeluk pinggang Ummah. Mendaratkan kepala di pundaknya. "Masak kangen saja enggak boleh, toh?"
"Tapi, beneran kamu endak ada masalah sama Nak Bagus, kan?" Ummah sedikit mendorong pundak, berusaha menangkap wajahku.
Aku menggeleng cepat. "Boten, boten. Gus Ali baik banget malah."
"Oh, syukurlah. Kalau sama anak sambungmu itu bagaimana?"
"Alhamdulillah, dia sudah akrab sama kulo. Mboten ada masalah, kok." Aku berusaha menyembunyikan secuil tak nyaman perihal Gus Ali yang sesekali masih menyebut nama Neng Zainab ketika tidur.
"Menikah dengan duda itu kalau nyaman, bakal nyaman banget. Kalau tak nyaman, bisa jadi masalah. Tak nyamannya itu kadang karena ada pembanding. Nyaman itu karena si suami sudah berpengalaman dalam menghadapi wanita. Dengan kata lain, dewasa dan bisa menghadapi sifat wanita yang kadang tak jelas dan suka merajuk."
Deg!
Kalimat-kalimat Ummah kembali menyenggol hati. "Kalau Abi, pripun, Ummah? Apa selama ini di antara Ummah dan dua istri Abi enggak ada masalah dan kecemburuan?"
"Alhamdulillah, sejauh ini semua baik-baik saja. Abimu itu adil dan mampu menghadapi kami. Dia memang pantas menjadi lelaki dengan istri lebih dari satu. Masalah dan kecemburuan kecil pasti ada sesekali. Tapi, Abimu itu bisa mengendalikan semua. Kami terbuka satu sama lain." Ummah melempar pandangan ke langit-langit kamar. Tangannya masih menepuk-nepuk halus tanganku.
"Terbuka pripun?"
"Abimu itu jujur. Semua masalah dimusyawarahkan bersama. Kami hampir tak punya rahasia satu sama lain. Pembagian waktu, uang, dan kasih sayang, dia sangat adil dan jujur. Jika ada hal darurat yang membuat Abimu harus berada di salah satu rumah kami yang sebenarnya tak berhak, Abimu selalu melibatkan kami untuk meminta izin. Sehingga hati kami merasa tenang. Dan mengganti waktunya di waktu yang lain."
Aku memerhatikan tiap kalimat yang keluar dari bibir Ummah. "Kalau perihal perasaan, apa Abi jujur, Ummah? Antara mana yang lebih disayang dan mana yang biasa saja?"
"Kami tak pernah memedulikan hal itu lagi, Nak. Karena ketika berdua dengan Abimu, Ummah selalu merasa bahwa Ummah ini istri satu-satunya. Bahkan jika kau mau bertanya pada Umi Miftah, pasti dia akan berkata demikian."
"Ah, masak kulo mau nanya masalah sensitif begini?"
"Loh, endak apa-apa. Kalau endak percaya bahwa kami saling terbuka, habis ini ummah akan ngomongin hal ini sama umimu."
"Wah, mboten usah Ummah!"
"Endak apa-apa. Ini pembelajaran dalam berumah tangga, kok."
Kami terus saja bercakap-cakap, hingga suara ketukan daun pintu membuat kami seketika menoleh. Ternyata ibu tiriku sudah berdiri di depan pintu. "Aku sudah mandinya. Ayo cepetan, Dik! Tak tunggu di mushola."
"Ning!" Ummah beranjak sebelum Umi Miftah berbalik pergi.
"Apa, Dik?" Ummi Miftah berbalik menghadap ibuku.
"Ini, si Zia ada yang mau ditanyain." Ummah melangkah mendekati ibu tiriku itu. Membimbingnya untuk masuk kamar.
"Ah, Ummah. Mboten. Mboten, Mi."
"Apa, Nduk?" Umi Miftah sudah duduk di sebelahku. Pun dengan Ummah.
"Ini, loh, nanyain apa kita saling cemburu." Ummah terkekeh. Sementara aku sedikit kikuk.
Umi Miftah seketika ikut terkekeh. Lantas, menjelaskan semua. Penjelasannya hampir sama seperti Ummah. Dan di titik ini aku baru menyadari kalau selama ini aku terpenjara oleh pikiran-pikiran burukku sendiri perihal kedua ibu tiriku. Sepertinya, ini karena gunjingan-gunjingan para tetangga yang sering kudengar dulu.
Padahal sejatinya, kehidupan rumah tangga Abi dan para istrinya sangat bahagia dan harmonis. Bahkan, bisa jadi, jauh lebih bahagia daripada yang tak berpoligami. Semua karena Abi mampu menjadi pemimpin keluarga yang baik.
Hari yang sangat menyenangkan dan penuh hikmah. Bukan hanya kebahagiaan yang kudapat. Kesadaran pun kuperoleh. Tapi, ada satu yang tak kudapat. Ummah tak mengabulkan permintaanku. Dia tak mau menginap dan tetap ikut pulang. Mereka pulang setelah melaksanakan sholat Maghrib.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Complete) Jurnal Pesantren
SpiritualFauziah, perempuan yang baru menikah di usia yang sangat matang, 33 tahun. Dengan pengalaman sebagai ustadzah di pesantren tempatnya menimba ilmu, dia berpikir bahwa kehidupan akan berjalan mudah. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba seorang Kiai muda be...