Tak Mampu Istikamah

324 44 5
                                    

Gus Ali langsung kembali ke Mushola untuk mengawasi para santri putra sholat Dhuha. Tentu saja, sebelumnya, menyucikan kaki di kran depan mushola. Sementara aku, segera saja berjalan ke arah rumah. Dan ketika berbalik, kulihat Mbak Rifah, khadimah yang kemarin kutitipi untuk membeli beberapa bahan untukku memasak hari ini.

"Mbak!" Suaraku sedikit lantang. Dengan setengah berlari, aku menghampirinya. Melewati seorang remaja yang sedang menyapu halaman.

Remaja lelaki itu tetap tak menghentikan kegiatan. Hatiku sedikit terusik. Merupakan bagian dari adab pesantren, untuk berhenti sejenak lalu menepi ketika ada guru atau orang yang lebih tua lewat.

Tapi, tak kuhiraukan hal itu. Kedatangan Mbak Rifah jauh lebih penting. Dia pasti telah membawa beberapa pesananku kemarin.

Wanita paruh baya itu menoleh, lantas berhenti sejenak. Menungguku mendekat. Dia mengangkat sebelah tangannya yang menjinjing satu kantung plastik hitam yang tampak penuh. Memiringkan kepala dan berisyarat padaku.

Aku tersenyum lega. Lantas, meminta kantong plastik itu dari Mbak Rifah ketika telah berdiri di depannya.

Aku mengintip isi di dalamnya. Ayam utuh dan beberapa bumbu pelengkap. Hari ini aku ingin menyajikan ayam goreng lengkuas untuk Gus Ali. Setahuku, ini salah satu makanan favoritnya.

***

"Neng ...." Dik Iin dan seorang guru bantu menyapaku ketika aku sedang membawa talam berisi lauk ke arah pintu belakang.

"Dik. Bentar, ya, aku mau menyiapkan sarapan buat Gus Ali dulu. Kok datang pagi banget?" Aku berhenti sejenak. Menoleh ke arah keduanya.

"Sudah setengah tujuh, Neng. Setengah jam lagi, kan, sudah bel masuk." Dik Iin tersenyum geli.

"Masyaallah. Terlalu sibuk di dapur rupanya. Sebentar, ya? Mau menemani Gus Ali sarapan dulu."

Aku berjalan dengan langkah yang kupercepat. Menata lauk dan nasi di meja makan. Lantas, segera menuju kamar, mencari suamiku.

Kutemukan dia sedang berganti pakaian. Gus Ali seketika menoleh, melihatku melongok dari ambang pintu. "Belum siap-siap?"

"Sarapan dulu, Gus! Hari ini, spesial aku yang masak." Aku menyeringai, yang seketika dibalas suamiku dengan embusan napas dan gelengan. Dia tersenyum manis kepadaku. Ah, usahaku sepertinya membuahkan hasil.

"Ayo! Biar kamu enggak terlambat siap-siapnya." Gus Ali melangkah ke arahku. Kami berjalan bersama ke meja makan.

Tentu saja, aku sangat senang menemani suamiku ini sarapan. Haidar pun ikut makan pagi bersama. Bahkan, akhir-akhir ini, dia mulai dekat denganku.

Putra sambungku itu kini sudah bisa mandi sendiri. Hanya saja, tetap masih harus diawasi. Seminggu ini, biasanya aku yang menemaninya. Tapi, hari ini kubiarkan dia mandi dengan ditemani santri yang biasa mengasuh. Meskipun tadi sempat ada drama Haidar merajuk dan tak mau mandi karena aku sibuk di dapur.

Kami selesai sarapan beberapa menit sebelum bel sekolah berbunyi. Dan aku benar-benar terburu-buru, mempersiapkan diri untuk mengajar. Bahkan, sampai-sampai terlambat sekitar sepuluh menit. Ini pun, aku belum melaksanakan sholat Dhuha.

Duh!

***

Aku menutup kitab dan segera beranjak, ketika telah mengakhiri jam pelajaran kali ini. Ingatanku tentang sholat Dhuha yang belum kulaksanakan, benar-benar tak henti membayangi. Bahkan, rasanya sangat tak nyaman. Sepanjang jam pelajaran pertama dan kedua barusan, aku merasa sangat gelisah. Pasalnya, aku terbiasa melakukan shalat sebelum berangkat mengajar. Hal ini sudah kulakukan bertahun-tahun.

Sejenak, ada kecemasan perihal jam istikamah yang tergeser. Tapi, segera saja kutepis. Bukankah aku melakukannya demi melayani suamiku? Ini, kan, salah satu ibadah utama.

Ah, tak mengapa.

Dan, seketika aku tersentak kaget, saat seorang wanita yang kuperkirakan sedikit lebih tua dariku, menunggu di depan kelas. Wanita itu sontak melangkah gegas mendekatiku dan bersalaman. Diikuti dua orang gadis remaja, yang kuperkirakan baru berumur belasan tahun.

Aku menerima uluran tangan mereka. Bersalaman dan beramah-tamah sejenak.

"Cari siapa?" tanyaku ketika kami telah bersalaman.

"Cari Mbak Ayu." Wanita yang kuperkirakan adalah ibu dua remaja ini, berisyarat dengan tangannya kepadaku.

"Oh, mari, mari! Kita masuk, dulu!" Aku mengajak mereka untuk melangkah ke arah pintu samping. Pintu yang menuju ruangan khusus untuk menerima tamu perempuan.

Sejujurnya, rasa gelisah semakin menjadi-jadi saja. Aku belum melaksanakan shalat Dhuha, malah kali ini ada tamu. Kalau kutinggal sebentar, tentu kurang sopan. Pun waktu yang kumiliki hanya setengah jam. Apakah cukup?

Tapi, jika aku menemani tamu ini dan dia baru pulang setelah bel berbunyi, itu artinya bisa-bisa aku tak bisa melaksanakan shalat Dhuha.

Kupersilakan ketiganya duduk. Lantas, pamit sebentar untuk ke dapur, meminta kepada khadimah untuk membuatkan teh sebagai suguhan.

Aku menanyakan maksud kedatangan mereka setelah kembali dari dapur.

"Saya mau memondokkan putri saya, Mbak Ayu. Yang ini." Ibu kedua remaja ini menunjuk kepada gadis yang tampaknya lebih muda.

"Oh, iya. Ini putri njenengan?"

"Iya. Ini putri kedua saya. Dan ini kakaknya." Kini wanita tadi menunjuk kepada yang memang tampak lebih tua.

"Oh ..., yang ini mondok di mana?"

"Oh, putri saya yang ini sekolah SMA. Baru kelas satu. Dia berprestasi. Kemarin dapat nilai UN terbaik ketiga se-Kecamatan Klakah." Mata si ibu tampak berbinar menceritakan prestasi putrinya.

"Oh ... alhamdulillah."

"Dan adiknya ini, Dia baru lulus SD. Saya memang ingin memondokkan. Tapi, saya tunda dua bulanan. Soalnya, masih ngasih kesempatan sama dia. Di rumah, dia main HP terus. Nilainya sering jeblok. Sudah saya peringatkan dan ngomel-ngomel tiap hari, tapi masih saja enggak digubris." Kini, ekspresi wanita di hadapanku ini seketika berubah sedikit masam.

Aku hanya mengangguk-angguk saja. Berusaha menampakkan bahwa aku benar-benar memerhatikan perkataannya.

"Jadi, saya mondokkan saja, Mbak Ayu. Siapa tahu, kalau mondok nanti dia jadi lebih baik. Syukur-syukur bisa hafal Al Quran kayak di tivi-tivi itu."

"Oh, iya, iya."

Kami terus saja bercakap-cakap dan berbasa-basi. Semantara aku menjelaskan beberapa prosedur yang harus dilaksanakan. Wanita ini benar-benar membanggakan putrinya yang lebih tua, dan tak henti-henti menyampaikan kekecewaannya terhadap putri keduanya. Bahkan, kulihat putri yang lebih muda, tampak kurang nyaman dengan sikap ibunya.

Tapi, tentu saja, aku tetap berusaha menanggapi dengan sewajarnya. Tak mungkin juga menceramahi si ibu agar berhenti berbuat begini. Meskipun sesekali, kucoba untuk mengalihkan pembicaraan. Tapi, masih saja gagal. Wanita ini sangat dominan menguasai percakapan.

Dan satu hal yang membuatku sedikit geram adalah, kali ini aku benar-benar tak melaksanakan sholat Dhuha. Perempuan ini baru pulang setelah bel sekolah berbunyi. Itu pun, setelah aku meminta izin untuk mengajar.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang