Jantung Rumah Tangga

316 51 3
                                    

Siang yang cukup panas. Sudah beberapa hari ini udara tak sesejuk biasanya. Kupikir, karena di sini merupakan dataran yang sedikit tinggi, udara tak akan sepanas ini. Tapi nyatanya, di bulan-bulan pertengahan kemarau begini, hawa panas mulai terasa.

Karena itu, aku berinisiatif membuatkan seteko es teh untuk suamiku. Aku membawanya ke ruang tengah, di mana suamiku berada. Kulihat tadi selepas jamaah Dzuhur, dia langsung menuju ruang tengah.  Sibuk memeriksa beberapa berkas di meja kerja. Sepertinya catatan bisyaroh bagi asatidz.

Aku meletakkan teko di meja sofa. Melihat kedatanganku, Gus Ali mendongak sesaat. Tersenyum, lantas kembali sibuk dengan berkas-berkasnya.

"Aku mau segelas, dong, Neng," Gus Ali berbicara tanpa melihat padaku. Masih fokus dengan kertas-kertas di meja.

Aku segera menuang es ke dua gelas. Lantas membawanya ke meja suamiku. Kuletakkan gelas itu di meja, lantas berbalik untuk mengambil satu kursi plastik dengan sandaran yang tertumpuk di sudut ruangan.

Aku meletakkan kursi di depan meja kerja. Duduk menghadap suamiku.

"Gus, ehm ... aku mau ngomong." Nada suaraku pasti terdengar ragu-ragu. Percakapan suamiku dan Dik Arif semalam, masih teringat jelas di benakku.

"Hmm? Ngomong saja!" Gus Ali masih sibuk dengan pena dan kertasnya.

"Selama berkhidmah di pesantren dulu, aku punya sedikit tabungan." Kalimatku terjeda sesaat.

Gus Ali mendongak sembari mengernyit menatapku. "Lalu?"

"Ehm ... Mungkin bisa digunakan dulu untuk pembayaran bisyaroh para pengajar." Nada suaraku lirih.

Pangkal alis suamiku hampir tertaut. Dia menghela napas dalam lantas mengembuskannya seketika. Meletakkan pena. Kini kedua telapak tangannya terjalin di atas meja. Dia sedikit mencondongkan tubuh ke arahku.

"Simpan saja tabunganmu itu. Belanjakan untuk kepentinganmu. Aku masih ada, kok. Kamu jangan khawatir begitu, ya?" Tutur kata dan nada suara lembut suamiku ini benar-benar membuatku terpesona. Lelaki dengan pemahaman agama dan dididik di keluarga yang baik, memang berbeda.

"Tapi ..." Aku urung meneruskan kalimatku. Malah menggigit bibir bawah dan sedikit menunduk. Tapi, masih sedikit melirik ke arah suamiku.

"Neng ... Aku ini lelaki. Ada amanah keluarga, pun amanah santri. Semua ada rezekinya masing-masing. Inilah alasan mengapa aku tak membicarakan masalah keuangan dengan istri."

Aku seketika mendongak. "Kenapa begitu?"

"Bukannya aku tak percaya dan tak menganggapmu istri. Tapi urusan uang, biarlah menjadi urusanku saja. Kau fokuslah mengurus santri. Tak elok perempuan turut campur masalah keuangan. Memusingkan dari mana rezeki akan datang."

"Kok tak elok, Gus?"

"Iya. Ketika wanita fokus masalah dunia, dia akan mudah terpengaruh dan hatinya bisa sangat condong pada dunia. Mudah emosi, mengeluh, yang ujungnya berpengaruh beneran sama rezeki. Jadi seret. Dan, sebaik-baiknya wanita adalah yang paling jauh dari urusan duniawi."

"Benar, sih. Tapi, aku masih belum paham."

"Wanita itu jantungnya rumah tangga. Inti kehidupan. Selayaknya inti, lebih baik fokus pada masalah akhirat saja. Terus berbahagia dan enggak ikut-ikutan mikirin uang. Biar rumah jadi sejuk. Anak-anak bahagia. Bukankah rumah tangga bahagia bersumber dari istri yang bahagia?"

"Ehm ... Tapi, aku hanya ingin membantu, Gus."

"Kau sudah sangat banyak membantu. Urusan santri perempuan sudah tertata baik dengan program-programmu. Aku saangat senang dengan ini. Kau juga ibu yang baik untuk Haidar. Kalau ingin membantuku, doakan saja tiap selesai sholat. Semoga suamimu ini dimampukan, ya?"

"Tapi ... beneran kalau butuh, bisa pakai uangku dulu, Gus."

"Iya, iya. Aku akan mengingat hal ini. Jangan khawatir!"

***

"Assalamualaikum." Aku berdiri di ambang pintu, membuat dua santri yang sedang bercakap-cakap, seketika menoleh dan berdiri menyambutku.

Mereka menjawab salam hampir bersamaan. Sementara aku melangkah masuk, mendekati Khoiriyah yang sedang tidur pulas.

"Dia sudah sholat Dzuhur?" Aku duduk di samping kasur lipat. Memeriksa keadaan Khoiriyah.

"Sudah, Mbak Ayu. Kalau habis minum obat, biasanya langsung tidur begini. Makanya pas adzan langsung sholat, terus minum obat."

"Dia enggak cerita apa-apa?" Aku yang tadi menghadap pada Khoiriyah, kini mengubah posisi, sedikit menghadap dua gadis ini.

"Tidak. Dia tidak cerita apa-apa."

"Coba kalian ngobrol-ngobrol lagi. Pancing dia, mungkin mau cerita. Biar ketemu akar masalahnya. Kalau dibiarkan sendirian, bisa bahaya." Aku mengembuskan napas sedikit keras.

"Inggih." Keduanya mengangguk hampir bersamaan.

"Ya sudah, aku kembali ke rumah dulu. Kalau ada apa-apa, segera kabari, ya?" Dua gadis itu menjawab permintaanku dengan anggukan. Lantas, aku beranjak dan berjalan keluar kamar, menuju rumah.

***

"Gus, jadinya si Ayna itu bagaimana? Barang-barangnya masih ada di asrama. Enggak ada pihak keluarga yang ke sini." Aku menoleh ke arah suamiku yang sedang duduk di belakang meja kerjanya.

Seperti biasa, jika tak ada kegiatan, kami akan mutholaah bersama di ruang tengah. Terkadang Gus Ali mutholaah bersamaku di sofa, tapi terkadang duduk di kursi kerjanya.

"Ibunya mungkin masih malu, Neng. Sedangkan pihak bapaknya, mungkin belum bisa saja ke sini. Kamu kemasi saja barang-barangnya. Kita enggak tahu, dia akan kembali lagi atau pamit." Gus Ali menghentikan kegiatannya sesaat. Dia yang barusan menuliskan sesuatu, meletakkan pena dan memandang ke arahku.

"Orang awam boyongan dari pesantren, asal boyong saja. Enggak ada pamit-pamitnya, ya?" Aku mendengkus kasar. Lantas mencebik.

"Namanya juga orang awam. Maklum saja. Tugas kita yang mengerti inilah untuk mengedukasi mereka. Bukan maksud agar dihormati, tapi semua semata-mata agar mereka bisa menghormati ilmu. Karena dengan cara itulah, keberkahan ilmu akan didapat."

"Benar juga, sih. Lebih baik fokus sama yang ada saja. Enggak perlu memikirkan yang enggak mau." Aku mengangkat kedua bahu. Menghela napas dalam dan mengembuskannya sekali embusan.

"Nah, itu tahu." Suamiku terkekeh. Pun denganku.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang