Suara lantunan dzikir bakda sholat telah berhenti. Rupanya jemaah solat Isya telah usai dilaksanakan. Malam ini, aku tak menjadi imam di mushola santri putri, karena mendadak merasa kembali tak enak badan. Sejak dinyatakan hamil dua minggu lalu, aku acap kali merasa meriang atau mual. Mungkin memang begini bawaan hamil.
Aku memutuskan untuk sholat sendiri di mushola dalam. Lantas, meneruskan untuk membaca dzikir di kamar sembari menutup sebagian tubuh dengan selimut.
Dan suara langkah kaki yang begitu khas, membuatku menoleh ke arah pintu. Benar saja, kulihat suamiku melangkah masuk kamar. Dia berjalan ke arahku, lantas duduk di bibir ranjang. Sementara aku, segera meletakkan tasbih kayu di nakas. Membenahi posisi sedikit lebih tegak, dengan kaki masih berlunjur.
"Neng, besok aku mengisi pengajian di Kraton. Kamu bagaimana? Ikut? Atau, aku antar ke Nguling? Nanti pulangnya kujemput." Tangan Gus Ali mendarat di lututku yang tertutup selimut.
Aku memajukan bibir dengan dahi berkerut. Seketika memeluknya cukup erat. Kurasakan usapan dan sesekali tepukan lembut di punggung.
"Aku enggak ingin ke mana-mana. Tapi, aku enggak mau ditinggal juga." Aku membenamkan wajah di pundak Gus Ali. Menghirup aroma maskulin yang tiba-tiba saja menjadi candu bagiku.
Ah, akhir-akhir ini aku jadi sedikit aneh. Selalu saja ingin berada di dekat suamiku. Bahkan ketika mengajar, sesekali terasa ingin menghentikan kegiatan, lalu menghampiri Gus Ali dan memeluknya. Merasakan aroma tubuh yang terasa nyaman dan menenangkan.
"Lalu, maunya bagaimana?" Suamiku sedikit mendorong tubuhku. Memandang wajah dan membenahi beberapa helai rambut yang keluar dari hijab paris yang kupakai.
Aku menggeleng cepat beberapa kali. "Enggak tahu."
"Ikut saja, ya? Kita ajak Haidar sekalian. Pulangnya kita main-main di sekitar Pasuruan. Kamu baik-baik saja, kan? Enggak mual?"
"Ehm ... Beliin es jeruk, Gus!" Tiba-tiba saja, aku membayangkan segarnya es jeruk. Padahal, hari juga sudah malam.
"Iya, besok, ya? Pas di pasar Klakah. Ke swalayan situ."
"Padahal maunya sekarang."
Gus Ali mengacak-acak pucuk kepalaku. "Apa enggak bisa ditunda?"
"Bisa, sih." Aku menunduk dengan wajah cemberut.
"Maaf, ya? Sudah malam, kan, Neng? Yang ada malah tokonya sudah tutup pas kita sampai di sana." Gus Ali beranjak. Lantas berbalik dan melangkah ke arah gantungan baju untuk berganti pakaian.
***
Aku terbangun dengan rasa haus yang mendera. Rasanya ... tenggorokan sangat kering. Aku menoleh ke samping. Suamiku masih sangat pulas. Sepertinya dia sangat kelelahan.
Kuraih ponsel di nakas, bermaksud memeriksa jam. Siapa tahu sudah lewat dini hari. Jadi, nanti sekalian aku akan bersuci untuk selanjutnya menunaikan salat malam.
Dan ketika kuperiksa jam pada layar ponsel, ternyata masih menunjukkan pukul dua belas kurang beberapa menit. Belum tengah malam. Masih sisa dua jam sebelum waktu biasanya aku melaksanakan salat malam.
Pun menandakan bahwa aku terlelap tak sampai dua jam. Karena tadi kami baru sampai di rumah pada jam setengah sepuluh malam. Dan sebelum tidur, terakhir kuperiksa jam dinding, sudah jam sepuluh malam lebih.
Aku beringsut dari ranjang, hendak menuju dapur untuk sekadar minum. Meskipun rasanya, badanku masih sangat lelah. Setengah hari berjalan-jalan keliling kota Pasuruan, dan sekalian juga mengunjungi ummah di Nguling sebentar.
Tadi, ada hal yang membuatku kesal. Seusai pengajian, Gus Ali malah masih beramah-tamah dengan para pengajar di asrama asatidz. Bahkan, aku sempat menelepon berkali-kali. Dan terakhir, aku menghubungi Zain, yang membuatnya muncul di tempat parkir dan dia kembali untuk mengabarkan pesanku pada suamiku. Padahal, kan, dia telah berjanji untuk segera keluar ketika pengajian usai dilaksanakan.
Segelas air dingin, sungguh segar terasa membahasi tenggorokan. Dan setelah merasa tak haus lagi, aku segera berbalik untuk kembali ke kamar. Melanjutkan tidur yang sempat terputus.
Sembari menguap beberapa kali, aku berjalan sedikit sempoyongan masuk kamar. Gus Ali masih dalam posisinya yang tadi.
Karena masih sangat mengantuk, aku naik ke ranjang gegas. Membenahi selimut dan mengatur kepala pada posisi yang paling nyaman. Tapi, belum juga terlelap, aku kembali mendengar suamiku mengigau, "Zainab! Kembali! Maafkan aku. Kumohon!"
Ya Allah, sudah lebih dari setengah tahun aku membersamainya. Mengapa suamiku masih saja memikirkan mendiang istrinya. Bahkan, hingga membuatnya mengigau?
Ini igauan pertama setelah kehamilanku. Kupikir, kehamilan ini adalah sebuah titik balik baginya untuk menyayangiku secara utuh. Tapi, nyatanya semua masih sama.
Sebelum ini, setiap kali kudengar dia mengigau tentang mendiang Neng Zainab, aku masih mampu menahan semua. Tapi, sekarang rasanya begitu berbeda. Semua terasa lebih menyakitkan.
Sejenak aku teringat percakapan dengan ummah bulan lalu tentang bagaimana dia memahami makna cinta. Tapi, aku tak mampu memungkiri rasa sesak yang seketika timbul dan menyiksa.
Perutku bawahlu tiba-tiba saja terasa sangat sakit. Aku meringis dan sedikit membungkuk sembari memegang bagian bawah perutku. Mencoba menahan nyeri.
Dadaku sesak, dan membuatku kesulitan bernafas. Bahkan, kini bening mengalir di pipi begitu deras.
Tapi, aku bisa apa? Aku masih tak memiliki keberanian untuk menanyakan dengan jelas kepada suamiku tentang ini.
Kuseka bulir bening di pipi dengan telapak tangan. Kujatuhkan tubuh ke ranjang. Berbaring miring memunggungi suamiku yang hingga detik ini masih memanggil-manggil nama mendiang istrinya.
Ya Allah ... ini igauan terlama dan paling menyakitkan yang kurasa. Aku tak tahan dengan semuanya. Karenanya, aku beranjak gegas, beringsut dari ranjang. Meraih ponsel dan melangkah ke luar kamar.
Kuputuskan malam ini untuk tidur bersama Haidar saja. Aku tak ingin seranjang dengan suami yang tak mencintaiku itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
(Complete) Jurnal Pesantren
SpiritualFauziah, perempuan yang baru menikah di usia yang sangat matang, 33 tahun. Dengan pengalaman sebagai ustadzah di pesantren tempatnya menimba ilmu, dia berpikir bahwa kehidupan akan berjalan mudah. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba seorang Kiai muda be...