Bercak

383 53 3
                                    

"Loh, Neng, kok tidur di sini?" Suara lembut itu menarikku dari alam mimpi. Tapi, alih-alih terpesona seperti yang lalu, aku malah merasa sangat geram dan marah.

Aku membuka mata perlahan, dan seketika memicing dan menatap tajam pada suamiku. Cahaya temaram dari sorot lampu ruang tengah, cukup membuatku mampu melihat wajahnya.  "Enggak apa-apa. Aku lebih suka tidur sama Haidar. Lebih damai dan nyaman. Di kamar bising."

Aku beringsut cepat dari ranjang. Meraih ponsel di nakas. Melangkah mengentak, meninggalkan suamiku yang sepertinya mengekoriku dengan langkah yang dipercepat.

Sembari berjalan ke arah kamar, aku memeriksa jam pada layar ponsel. Setengah tiga dini hari. Oh, ternyata Gus Ali tak ingkar janji. Dia membangunkanku untuk salat malam.

"Neng! Kamu kenapa?" Telapak tangan yang mendarat di pundak, membuatku menghentikan langkah tepat di ambang pintu kamar, lantas menoleh.

"Kata orang tua, wanita hamil enggak baik berdiri di ambang pintu. Lahirannya susah." Suaraku sangat ketus dan seketika kutepis tangan suamiku dari pundak. Berbalik dan meneruskan langkah.

Kuletakkan ponsel di nakas. Lantas, berbalik hendak melangkah keluar kamar menuju kamar mandi untuk bersuci dan salat malam. Tapi, lagi-lagi Gus Ali meraih pergelangan tanganku. Cengkeramannya sangat erat, membuatku meringis dan sedikit meronta.

"Kamu kenapa, sih, Neng? Ngambek? Ada masalah apa?" Kini kami berdiri berhadapan. Tanganku masih dicengkeram erat.

"Enggak ada apa-apa. Ini namanya Mood Swing. Wajar. Bawaan bayi. Sudah, deh! Sekarang lepasin! Aku mau sholat." Aku kembali meronta.

"Oke, aku akan lepas. Asal yang kau katakan itu benar. Ingat, Neng, kamu sedang hamil. Hidupmu sudah enggak sendirian. Jangan sampai stress atau kemarahan tak jelas yang kau alami itu berpengaruh buruk pada janin yang kau kandung!" Iris hitam itu membidik tajam mataku. Menimbulkan gentar dan sedikit cemas.

Yang dikatakan suamiku benar adanya. Tekanan dan segala hal yang kurasa bisa berpengaruh buruk pada janin yang ada di perutku.

Aku terdiam. Masih membalas tatapan suamiku. Tapi, dengan sorot mata yang makin melembut. Sebelum akhirnya kulempar pandangan ke lantai.

"Maafkan aku, Gus! Aku benar-benar tak tahu kenapa. Hanya saja tiba-tiba merasa sebal." Aku tetap saja berbohong. Tak mau tampak bodoh dengan kecemburuan tak jelas. Terlebih lagi, Neng Zainab sudah meninggal, kan?

Seketika, pelukan hangat suamiku membuatku tersentak. Dia membenamkan kepalaku di dadanya. Tangannya menbalai lembut punggung kepalaku. "Ya, sudah. Aku peluk saja, kalau begitu. Mungkin bisa membuatmu tenang, kan?"

Benar saja, aroma maskulin yang sangat kusuka. Terasa saangat menenangkan bagiku. Entah mengapa, aku tiba-tiba terlena dengan aroma ini. Kemarahan yang menggelegak, tiba-tiba menghilang begitu saja.

Aku membalas pelukan suamiku. Menghirup dalam aroma tubuhnya. Lantas melepas perlahan pelukan dan menegakkan tubuh seraya tersenyum menatapnya.

Lengkungan tipis pun terlukis di bibir Gus Ali. "Nah, sekarang sudah enggak sebal lagi, kan?"

Aku menggeleng cepat. Menghela napas dalam dan mengembuskannya perlahan. "Aku mau ke kamar mandi dulu, ya?"

"Iya, sholat, sana!" Gus Ali mengacak-acak rambutku yang memang belum rapi karena belum sempat kubenahi.

Sembari membenahi rambut, aku melangkah keluar kamar untuk bersuci dan sholat malam.

***

Aku memekik tertahan mana kala kulihat bercak kecokelatan di celana dalamku. Tentu saja, pada dini hari yang masih hening seperti ini, aku tak mau suaraku mengganggu para santri yang mungkin masih beristirahat.

Seketika, panggilan suamiku bersamaan dengan ketukan di daun pintu, membuatku seketika membenahi pakaian. Menjatuhkan begitu saja celana dalam ke lantai.

Aku menbuka pintu kamar mandi dan seketika berhamburan ke pelukan suamiku saat dia muncul dari balik pintu. Aku terisak hebat. Dan, perutku kembali sakit yang membuatku meringis menahannya.

"Kenapa, Neng?"

"Ada bercak darah, Gus. Aku enggak tahu kapan keluarnya. Aku enggak mau keguguran." Aku masih membenamkan wajah di dada suamiku. Kurasakan kepalanya bergerak, mungkin dia sedikit mengintip ke kamar mandi.

"Masyaallah. Ayo, Neng, balik ke kamar dulu!"

Gus Ali memapahku perlahan ke kamar. Tak kurasakan ada yang keluar dari kemaluanku. Tapi, rasa nyeri di perut bagian bawah, masih terasa.

Aku naik ke ranjang perlahan. Dengan bantuan suamiku, aku berbaring dengan posisi yang kurasa paling nyaman.

"Di sini dulu. Kamu tenang! Aku buatkan teh hangat. Kamu jangan ke mana-mana."

Gus Ali segera berbalik dan melangkah cepat keluar kamar. Dan beberapa menit kemudian, dia kembali membawa segelas besar teh.

"Minum dulu, Neng! Bakda Subuh aku akan langsung memanggil bidan. Bercaknya hanya kecokelatan, kan? Tadi sudah kubersihkan." Gus Ali meletakkan teh di nakas. Membantuku bangun dan meletakkan bantal di belakang punggung. Lantas, meraih teh dan membantuku untuk minum.

Aku mengangguk sedikit membelalak. Betapa baiknya lelaki ini, dia tak segan membantuku membersihkan hal yang kebanyakan lelaki pasti tak akan mau melakukannya.

Aku meminum teh yang hangatnya pas. Dan dari aroma yang kurasa, sepertinya teh ini sudah dicampur Minyak Tawon.

"Kok ada rasa Minyak Tawonnya, Gus?" Aku menyerahkan teh yang sudah kuminum beberapa teguk.

"Iya. Untuk pengobatan biasanya aku pakai itu. Cukup manjur dan membantu. Entah kalau untuk pendarahan ini bisa atau tidak. Yang jelas, bisa menimbulkan efek hangat dan menenangkan." Gus Ali menerima teh dari tanganku. Lantas, meletakkannya di nakas.

"Makasih, ya, Gus. Sudah baik dan telaten padaku. Padahal tadi aku sempat marah-marah tak jelas." Aku melempar pandangan ke lantai.

"Sudah, sudah! Sekarang istirahat dulu. Subuh nanti kubantu sholat. Dan kupanggilkan bidan." Gus Ali kembali membantuku berbaring. Membenarkan selimut pada tubuhku. Lantas berbalik dan melangkah.

"Gus! Mau ke mana?"

Gus Ali menghentikan langkah dan berbalik. "Mau ngasih tahu anak santri buat gantiin imam sholat Subuh nanti. Ada beberapa yang sudah bangun, kok. Sebentar, ya?"

Aku hanya mengangguk. Sementara suamiku melanjutkan langkahnya.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang