Pesan Suamiku

295 46 3
                                    


Kami masuk ruang periksa sekitar pukul setengah sebelas pagi, setelah mengantre kurang lebih empat puluh lima menit. Khoriyah melakukan pemeriksaan di poli psikiatri RSUD. Kami hanya meminta surat rujukan saja ke puskesmas tadi pagi, sekitar pukul setengah sembilan.

Seorang psikiater wanita berhijab biru, sedang menanyai Khoiriyah tentang beberapa hal. Keduanya duduk berhadapan di ruang periksa. Sementara aku menemani, duduk di sebelah gadis malang ini.

Pertanyaan yang diajukan, menurutku, biasa saja. Karena sebelumnya, kupikir akan ada sesi konseling intensif. Menanyai hal-hal mendalam dan berkelanjutan.

Lantas setelahnya, wanita yang memakai jas putih itu menulis resep dan menyerahkannya padaku. "Silakan! Obat bisa diambil di apotek depan. Dan untuk beberapa waktu ke depan, pastikan untuk selalu menemani yang bersangkutan. Jangan ditinggal sendiri!"

Aku menerima resep itu. Lantas beranjak. "Baik, Dok."

Kami keluar dari ruang periksa, dan langsung menuju tempat parkir. Setelah sebelumnya berisyarat pada santri yang menemani Khoiriyah untuk mengikuti kami. Karena tadi, gadis teman kamar Khoiriyah itu menunggu di depan ruang periksa.

Kupikir, Khoiriyah akan mendapat penanganan konseling khusus. Tapi nyatanya, kami hanya diberi resep yang sepertinya hanya berupa obat penenang dan pereda stres.

Ternyata, penanganan depresi untuk kasus semacam ini, tak mendapat perhatian khusus. Buktinya, bahkan tenaga medis pun hanya merespon semacam ini. Kami harus mendaftar untuk tindakan konseling dengan cara berbeda. Dan tentunya dengan biaya khusus. Karena memang, gadis malah ini bukan peserta asuransi kesehatan pemerintah. Tadi ketika kutanya, dia tak memiliki kartunya.

Tapi tak mengapa. Itu artinya, ada tugas lain bagi kami untuk bisa menjaga dan membantu gadis malang itu untuk kembali mengobati hatinya yang terluka. Entah luka macam apa yang dialami. Perlahan, aku akan menanyainya. Karena, ketika tadi kami bertanya biaya untuk konseling, kami harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit.

"Ayo kita segera pulang, Neng. Ada Dik Arif sama pak Kades nunggu di rumah." Gus Ali menoleh kepadaku ketika aku membuka pintu mobil.

"Tapi kita harus nebus obat dulu, Gus." Aku menunjukkan lembar resep kepada suamiku, sembari duduk di kursi penumpang samping. Sementara Khoiriyah dan temannya duduk di kursi penumpang belakang.

"Harus sekarang, ya? Apa enggak bisa dikirim pakai kurir? Soalnya ini masalah pencarian Ayna."

"Bisa mungkin. Atau beli di apotek Klakah saja, ya? Minta tolong sama anak santri putra." Aku menutup pintu mobil. Membenahi posisi.

"Oh, bisa, bisa. Yuk segera pulang!"

Gus Ali menoleh ke kursi penumpang belakang, memastikan semua sudah duduk dengan baik. Lantas menyalakan mesin dan melajukan mobil.

Mobil melaju dengan kecepatan sedikit lebih tinggi dari pada ketika kami berangkat tadi. Mungkin memang urusan dengaan Dik Arif dan Pak Kepala Desa memang sangat penting.

Butuh sekitar tiga puluh menit akhirnya kami tiba di rumah. Kulihat dua motor telah terparkir di depan teras. Kami turun dari mobil. Suamiku memasukkan mobil ke garasi, sementara aku dan dua santri ini melangkah menuju samping rumah. Aku berbelok ke ruang tamu samping, sementara kedua gadis itu berjalan menuju pintu masuk asrama santri putri.

***

Aku memeriksa keadaan Khoiriyah setelah menjadi imam sholat Dzuhur berjemaah. Menyerahkan sebungkus obat yang telah kubeli. Tadi, seusai berganti pakaian, aku meminta tolong kepada salah seorang santri putra untuk membeli obat ke apotek Klakah.

Melihat kedatanganku, Khoiriyah yang tadi sempat berbaring, seketika duduk untuk menyambutku. Pun slah satu teman sekamar yang menungguinya pun, sedikit mengubah posisi.

"Bagaimana keadaannya, Nak?" Aku duduk di samping kasur lipat di mana Khoiriyah duduk.

"Sae, Mbak Ayu."

"Sudah sholat?"

"Sudah barusan."

"Ini obatnya diminum, ya? Kalau ada apa-apa, kamu cerita saja. Untuk sekarang, mending kamu istirahat dan menenangkan diri dulu! Enggak perlu merasa sendirian. Teman-temanmu di sini ini saudaramu semua. Dan aku ini ibumu. Bukan orang lain. Kalau di rumah, mungkin ada ibumu. Tapi ketika seorang santri kembali ke pesantren, aku dan Non Alilah yang jadi orangtua kalian." Aku mengusap lembut pundak gadis berkulit kecokelatan ini. Menatapnya hangat.

"Inggih. Terima kasih banyak."

"Ya, sudah. Tak tinggal dulu, ya?"

Aku beranjak, lalu melangkah untuk kembali ke rumah. Dan ketika sampai di ruang tengah, aku melihat sumiku juga baru masuk, melewati ambang pintu tengah.

"Gimana pencariannya, Gus?" Aku mengehntikan lamgkah, sembari menunggu suamiku mendekat.

Sejak tiba tadi, aku belum punya kesempatan sama sekali untuk mengobrol dengannya. Sepertinya, Dik Arif dan Pak Kepala Desa baru pulang beberapa menit setelah adzan Dzuhur bekumandang.

"Dia enggak pulang ke rumahnya." Gus Ali meneruskan langkah masuk kamar. Sementara aku mengekorinya.

Aku membuka mukenah dan segera melipatnya. Lalu, menggantungnya di gantungan seperti biasa. Sementara suamiku duduk di bibir ranjang setelah menggantung sorban dan songkok hitamnya.

"Ada kabar kira-kira dia ke mana?" Aku menghampiri suamiku, lantas duduk di sebelahnya.

Gus Ali menghela napas dalam, lantas mengembuskannya seketika. "Masih akan dicari ke rumah saudara-saudaranya. Ibunya memang begitu, ya?"

"Begitu bagaimana?" Aku memiringkan kepala dan mengernyit.

"Tadi pas Dik Arif dan Pak Kepala Desa ke sana, si ibu marah-marah enggak jelas. Menyalahkan kita lagi. Membuat pencarian makin sulit. Bahkan, informasi tentang saudara-saudaranya didapat dari tetangga. Si ibu malah enggak mau bekerja sama."

"Sudah kuduga, Gus. Pas datang itu dia memang agak gimana, gitu. Kupikir cuma karena mood-ku yang kurang baik karena enggak bisa sholat Dhuha. Ternyata memang begitu wataknya."

"Hm? Enggak bisa sholat Dhuha? Bukannya kamu selalu sholat berjemaah dengan anak santri? Kamu, kan yang mewacanakan sholat Dhuha berjemaah. Lalu, kalau kamu enggak sholat, yang menjadi imam siapa?"

"Ehm ... itu, anak-anak. Pas itu, kan, aku yang ikutan jalan-jalan pagi pertama kali. Terus lanjut belajar masak. Jadinya karena agak sibuk, makanya enggak bisa sholat pagi. Nah, rencananya mau sholat pas istirahat. Eh, malah ada tamu." Aku menyeringai. Mencoba menceritakan semua kepada suamiku.

"Oalah. Ngapain kamu memaksakan belajar masak sampai mengganggu kegiatan santri dan menggeser jam istikamah?"

"Ya enggak apa-apa. Aku cuma ingin bisa memasak. Biar bisa memasak buat keluarga."

Suamiku kembali menghela napas dalam. "Memasaklah yang biasa saja, Neng! Jangan terlalu berlebihan."

Aku hanya mengangguk. Karena seketika merasa sedikit aneh. Ini kesekian kalinya suamiku berpesan agar aku tak berlebihan. Tentu saja aku sedikit curiga. Apakah dia tak suka masakanku? Bukankah menu-menu itu yang biasa dimasak Neng Zainab?

Atau ... menu-menu itu malah mengingatkannya pada mendiang sang istri?

Entahlah, aku hanya belum berani untuk menanyakannya.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang