Patuh

381 48 1
                                    

Aku keluar dari ndalem Kiai Fadhil dengan melangkah mundur. Lantas, berbalik setelah beberapa langkah di depan pintu. Berjalan sedikit menunduk dan berusaha tenang.

Sepanjang perjalanan menuju kamar, seperti biasa, berpapasan dengan para santri putri yang kebetulan hilir mudik. Tentu saja, melihatku, membuat mereka serta-merta menghentikan kegiatan. Lalu, berdiri dengan posisi sedikit membungkuk dan kedua tangan yang tertangkup di depan badan. Beberapa yang lain, berusaha bersalaman denganku. Adab santri yang sangat luar biasa.

Tapi, suara seorang gadis remaja yang sangat familiar, tiba-tiba membuatku tersentak kaget.

"Neng Zia!" Panggilan khas dari Zahra.

Meskipun kami sama-sama berasal dari Pasuruan, tapi cara Zahra dan Zain utuk memanggilku, berbeda. Aku dan Zain dari Pasuruan bagian timur, perbatasan Probolinggo. Karenanya, Zain memanggilku Mbak. Sedangkan Zahra, dari Pasuruan kota, mereka biasa memanggil kakak perempuan dengan sebutan Neng.

"Dalem?" Aku berbalik, tersenyum memandang adik paling kecilku itu. Memelankan jawaban. Berusaha tetap tenang untuk menjaga muru'ah sebagai ustadzah.

Zahra sudah berdiri di hadapanku, dengan kepala tertunduk. Tapi, masih bisa kulihat ekspresinya yang seketika membuat tak nyaman.

Masalah apa lagi yang dibawanya kali ini?

"Anu, Neng. Dompet uang yang dari Abi, lupa enggak dibawa. Ada di lemari kamar. Bisa, enggak, Neng Zia telpon Abi biar ngutus Cak Ji buat nganter dompetnya? Sisa uang belanja buku kemarin cuma cukup buat satu dua hari ini saja." Zahra memilin-milin ujung jilbab paris birunya.

Innalillah .... Benar, kan, tebakanku. Bocah ini sangat ceroboh.

Segera saja, kuraih pergelangan tangannya. Menuntun adik kecilku ini untuk mengikuti ke kamar. Karena, jika terus mengobrol di jalanan seperti ini, membuat kegiatan beberapa santri akan terganggu.

Ketika memasuki kamar dan berucap salam, aku menyuruh Zahra duduk pada salah satu sudut kamar paling depan. Sedikit agak ke dalam di dekat pintu masuk. Kami duduk emok dan saling berhadapan.

"Kamu tahu sendiri, Dik. Menitip telepon itu melanggar peraturan pesantren. Jadi, gini saja, ini Neng ada uang. Pakai dulu! Beberapa hari lagi, Abi insyaallah akan ke sini. Kamu juga sekalian ikut antri buat telepon pakai fasilitas pondok."

"Tapi, Neng, antri buat telepon itu bakal lama. Apa Neng enggak bisa cuma bilangin ke Abi pakai HP? Pliss ...? Ya, Neng?" Zahra sudah menatapku dengan kedua sudut alisnya yang turun dan ekspresi sok imut.

"Gini, deh, Neng antrikan buat nanti sore. Bagaimana? Ingat, Zahra, usahakan jangan melanggar peraturan pesantren sedikit pun! Kebiasaan nanti pas kamu sudah lulus. Di sini kita menempa diri."

Zahra memajukan bibir, kembali menatapku dengan wajah memelasnya. Lalu, mengangguk pelan.

Kasihan sebenarnya. Kalau tak ingat beberapa adab tholibul ilmi tentang pentingnya patuh kepada guru, tentunya aku sudah menghubungi Abi dan memberitakan ini.

Sebenarnya, urusan Zahra menitip pesan ini tak terlalu melanggar peraturan. Toh, aku pengajar senior di pesantren ini. Dan peraturan itu adalah larangan meminta bantuan kepada santri sekolah dari luar atau santri yang sedang dikirim untuk diteleponkan kepada orangtua mereka. Tapi, memberinya fasilitas lebih karena statusnya sebagai adikku, sungguh bukan contoh yang baik. Karena, putra-putri para Kyai di pesantren ini pun, ketika menimba ilmu dan nyantri, mereka mematuhi aturan. Padahal, Abah-Abah mereka sendirilah pengasuh pesantren ini.

Aku mengembuskan napas lega. Akhirnya, sedikit banyak bisa mengajari adikku ini untuk terus patuh. Dan sejenak lalu, muncul rasa tak tega padanya. Semoga saja Zahra bisa mandiri sebelum kutinggal nanti. Kalau ternyata aku berjodoh dengan Kiai itu, Zahra adalah salah satu yang akan membuatku kepikiran dan rindu. Meskipun dia kadang merepotkan, tapi sedikit banyak, aku tetap menyayanginya. Adik tiri terkecil kami.

Zahra beranjak pergi, setelah aku memberikan sejumlah uang untuknya. Jumlah yang kuperkirakan cukup untuk dua minggu.

Sepeninggal adikku itu, aku segera beranjak. Menemui salah satu rekan pengajarku. Ustadzah Azizah, rekan pengajar senior yang telah mengabdi hampir delapan tahun di sini untuk menanyakan perihal pesanku tadi tentang petugas koperasi santri. 

Dan setelah usai bertanya, aku langsung mengambil tas tangan untuk segera berangkat ke pasar bersama pengurus koperasi santri yang sudah menunggu di kantor balai pertemuan. Sesuai info yang kudapat dari Ustadzah Azizah.

Sebelum keluar kamar, aku membuka layar ponsel, mengirim pesan chat kepada Zain, adikku.

[Zain, kalau sudah enggak sibuk, kamu hubungi Mbak. Ada yang mau Mbak omongin.]

Aku ingin membicarakan kabar perjodohan ini dengan satu-satunya saudara kandungku itu. Pun, aku ingin dia ikut menemaniku ketika proses nadzor nanti.

Sebagai pengajar, kami memang diperkenankan untuk membawa ponsel. Sedangkan para santri, sama sekali tak diperkenankan.

***

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang