Nasihat untuk Adikku

517 58 4
                                    

Aku duduk di kursi penumpang tengah. Menyerahkan semua beban punggung ke sandaran kursi yang sudah kuatur lebih rendah. Sementara, kedua siku sudah bertumpu pada handle kursi. Pendingin mobil diatur ke posisi medium. Kuembuskan napas dari mulut. Mataku memejam.

Akhirnya, aku benar-benar akan kembali ke pesantren. Senang rasanya, meskipun masih tampak jelas di benak, bagaimana raut wajah Ummah ketika kami pamit tadi.

Sementara itu, setelah beberapa menit, Zain datang dan langsung duduk di kursi penumpang depan. Menemani Cak Ji, supir kepercayaan Abi.

Aku tersenyum ketika sekilas melihat adikku yang sudah berumur dua puluh enam tahun itu. Zain kecil dan bandel itu kini sudah dewasa. Dia memakai jas hijau tua, seragam para Ustadz di pesantren tempat kami berkhidmah. Sementara aku, sudah dua belas tahun ini selalu memakai gamis seragam pengajar. Masa khidmah yang tak sebentar.

Harusnya, sebagai putri Ummah dan Abi, aku sudah tak lagi berkhidmah di pesantren. Di rumah ada lembaga pendidikan berupa madrasah dan taman pendidikan Al Quran yang harusnya kutangani. Tapi ... karena merasa tak nyaman dengan sikap tetangga kanan-kiri, membuatku selalu saja meminta untuk kembali lagi ke pesantren.

Dan masa khidmah Zain, harusnya sudah selesai dua tahun lalu, hanya saja, dia menambah lagi atas saranku. Aku sangat kenal dengan adikku itu. Sebelum menikah, jangan sampai dia dibiarkan berkeliaran di luar pesantren.

Cak Ji mulai melajukan mobil MPV premium kiriman Abi ini perlahan. Dari desa Nguling, kami menuju Pasuruan Kota untuk pamit pada Umi Miftah dan Umi Ruqoyyah. Kebetulan, Abi sedang berada di ndalem Umi Miftah, istri keduanya. Rumah kedua ibu tiriku itu berada pada kompleks yang sama. Hanya Ummah saja yang cukup jauh. Dan, setiap acara kembali dan pulang dari pesantren, kami selalu diantar jemput oleh mobil dan supir kiriman Abi. Meskipun di rumah, Abi telah membelikan kami mobil.

Dulu, Ummah adalah santri di pesantren yang kini diasuh Abi. Abi menikahi Ummah setelah bermusyawarah dengan kedua istrinya. Bertujuan untuk membuka lembaga pendidikan agama di desa kami.

Tapi, namanya orang kampung, ada saja gunjingan yang didapat Ummah perihal statusnya. Padahal, Ummah dan Abi juga menikah resmi di KUA.

"Zain ..." aku memanggil Zain masih dengan posisi santai dan mata terpejam.

"Hmmm ..."

"Kamu itu sudah jadi Ustadz di Pesantren. Dua tahun sebelumnya sebagai pengurus. Dan sekarang, tahun kedua kamu diamanahi lagi. Mbok ya bisa jaga diri!" Aku memejam, menikmati embusan angin dari pendingin ruangan.

"Bawel, ah! Wong aku enggak pernah ketemuan sama Hanum. Cuma telponan aja, loh, Mbak."

"Iya. Mbak tahu. Tapi, itu tetap saja bisa menjerumuskan pada zina, Zain. Bukan sok suci, cuma berusaha jaga diri. Ingat! Kita itu anak Abi. Coba kamu bicarakan sama beliau biar Abi bantuin kamu ngelamar si Hanum. Biar hatimu tenang. Setelah Hanum lulus, segera nikahi saja!"

"Maunya begitu, Mbak. Tapi--"

"Kamu enggak usah mikirin Mbak. Enggak ada aturan agama yang bilang haram melangkahi kakak yang belum menikah. Untuk urusan nafkah, insyaallah kamu mampu. Urusan yang lain juga. Enggak ada yang perlu dikhawatirkan. Jangan jadikan sesuatu yang bukan halangan sebagai hambatan!" Aku menegakkan punggung. Membuka mata. Menghela napas dalam dan mengembuskannya perlahan.

"Insyaallah." Suara Zain cukup lirih. Terasa berbeda dengan Zain yang biasanya.

"Jangan mikir ke mana-mana! Lebih baik pikirin lembaga pendidikan kita! Harusnya kamu yang sudah selesai nyantri, bisa segera pulang buat membantu Abi mengurus madrasah di rumah. Mbak juga insyaallah akan pulang kalau sudah siap." Aku kembali mendaratkan punggung di sandaran kursi. Dan kembali memejam.

Zain terdiam mendengar rentetan kalimat yang sudah kuutarakan tadi. Suasana jadi sedikit hening. Hanya ada bunyi mesin dan embusan angin dari pendingin mobil. Mobil melaju dengan kecepatan sedang.

Hingga, beberapa menit kemudian, kurasakan kecepatan mobil yang mulai berkurang. Membuatku kembali menegakkan punggung dan melihat ke luar. Ternyata, kami sudah sampai di ndalem Umi Miftah.

Kami segera turun, berjalan hampir beriringan ke ndalem yang sebelah barat, tempat tinggal Umi Miftah. Dan sepanjang perjalanan, seperti biasa, beberapa santri putra yang hilir mudik, menepi dan berdiri dengan posisi khas. Kedua tangan terjalin di depan badan dengan posisi sedikit membungkuk, memberi kami jalan.

Aku dan Zain, tak terlalu memperhatikan mereka. Hal yang sudah biasa terjadi dalam kehidupan pesantren.

Ketika kami memasuki ndalem lewat pintu samping, kulihat Abi dan Umi Miftah duduk di ruang tengah. Kami bersalaman dan memberi hormat kepada keduanya. Lantas, berpamitan setelah menunggu Zahra, putri bungsu Umi Miftah.

Dan, menunggu Zahra, membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Entah mengapa, remaja lima belas tahun itu, selalu saja kehilangan barang ketika akan berangkat. Dan tentu saja, para Mbak Dalemlah yang akan kelimpungan mencarinya.

Abi memiliki sepuluh putra-putri dari tiga istri berbeda. Dan, hanya kami bertiga saja yang masih kembali ke pesantren. Aku dan Zain untuk berkhidmah, sedangkan Zahra masih nyantri.

Sebenarnya, Abi sempat menawariku untuk khidmah di pesantren yang diasuh Abi. Membiarkanku memilih antara tinggal di rumah Umi Ruqoyyah atau Umi Miftah. Tapi, aku menolak halus hal itu. Meskipun kedua ibu tiriku itu baik, tapi ... aku masih segan untuk tinggal bersama mereka.

Kami bertiga meneruskan perjalanan untuk kembali ke pesantren setelah sempat pamit kepada Umi Ruqoyah. Dan, seperti biasa, lagi-lagi kami harus mampir ke daerah pertokoan Kota Pasuruan untuk seladar membeli alat tulis dan beberapa barang kebutuhan Zahra.

Lagi-lagi aku dibuat heran, kenapa bocah ini sangat santai dan tak disiplin. Bukannya menyiapkan semua jauh-jauh hari, malah memilih membeli barang-barang itu bertepatan dengan hari kembali ke pesantren. Sungguh merepotkan.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang