Tamu Istimewa

267 44 0
                                    


Ponsel yang kuletakkan pada bangku, di atas buku jurnal kelas, berdengung panjang dan layarnya seketika menyala. Aku yang pagi ini sedang membacakan kitab di kelas, seketika menghentikan bacaan manakala kulihat nama Ummah yang terpampang di layar.

"Sebentar, saya izin menerima panggilan, ya?"

"Ya, Ustadzah." Seisi kelas menjawab hampir serentak.

Pada saat proses belajar di kelas, para santri memanggilku Ustadzah. Hanya ketika di luar kelas saja mereka memanggilku Mbak Ayu. Hal itu kuajarkan sebagai formalitas. Lagi-lagi, mengadaptasi gaya pengajaran dari pesantrenku dahulu.

Aku meraih ponsel, lantas beranjak dan berjalan keluar kelas. Menerima panggilan itu.

"Assalamualaikum, Ummah."

"Waalaikumsalam. Nduk, Ummah lagi dalam perjalanan ke rumahmu. Sudah nyampe Bayeman, ini."

"Oh, inggih, inggih," aku menjawab sembari mengangguk-angguk. Untuk beberapa saat, agak terkejut dengan kedatangan Ummah yang begitu tiba-tiba.

"Ya, wes. Cuma mau ngabarin saja."

"Eh, sama siapa saja, Ummah?"

"Oh, sama Abi dan Umi Miftah. Umi Ruqoyah endak ikut. Lagi ada acara. Ada santri juga dua."

"Inggih, Ummah."

"Ya, wis. Assalamualaikum."

Aku menjawab salam ummah lantas menutup panggilan. Dan karena sedikit terkejut, aku seketika masuk kembali ke kelas.

"Saya izin dulu sebentar, ya?" Aku berdiri tak jauh dari ambang pintu. Lantas berbalik setelah para siswi menjawab pertanyaanku.

Dengan langkah yang kupercepat, aku menuju pintu asrama pesantren putri, hendak keluar menemui suamiku yang saat ini pasti sedang mengajar di sekolah santri putra.

Kedatangan keluargaku yang mendadak ini, memang seketika membuatku kebingungan. Pasalnya, aku tak punya persiapan apa pun. Kalau kemarin-kemarin, aku masih sering belanja banyak. Tapi sekarang, aku mulai mencoba mengatur belanja. Makan seperti konsumsi para santri.

Setelah bertanya pada salah satu ustadz yang kutemui di depan salah satu ruang kelas, aku segera menuju di mana suamiku mengajar. Berdiri di depan teras kelas, agar dia bisa tahu keberadaanku.

Dan ketika menyadari keberadaanku, Gus Ali seketika beranjak dan berjalan mendekati.

"Ada apa, Neng? Kok kayaknya penting?" Suamiku berdiri di teras, sementara aku masih di bawah, sedikit mendongak.

"Anu, Abi  sama ummah lagi perjalanan ke sini. Kita enggak punya apa-apa. Gimana?"

"Duh, sekarang sudah di mana?"

"Barusan bilang di Bayeman. Masih agak jauh, sih. Paling nanti, hampir Dzuhur, nyampenya."

Gus Ali merogoh saku kokonya, mengeluarkan ponsel. "Masih jam delapan. Sebentar lagi, pas istirahat, kita ke pasar Klakah. Beli sesuatu."

"Baik. Ya sudah, kalau gitu, aku mau kembali ke kelas."

Suamiku mengangguk. Dan aku berbalik gegas dan melangkah, kembali lagi ke kelas untuk meneruskan pelajaran.

Kunjungan keluargaku pertama kali setelah kepindahanku. Aku tentu sangat senang dan ingin menjamu sebaik mungkin.

***

Gus Ali melongok dari luar dapur, ketika aku masih sibuk membantu para khadimah menyiapkan suguhan untuk kedatangan orangtuaku. "Abi, umi, dan ummah sudah datang, Neng."

Aku seketika menoleh, dan mengangguk. Lantas, membersihkan tangan dengan kain serbet yang tergantung di tiang dapur setelah mencuci tangan. Membuka apron dan menggantungnya, melangkah gegas ke arah rumah. Sementara suamiku sudah lebih dulu berlalu menemui orangtuaku.

Hatiku sungguh sangat bahagia, ketika kulihat orangtuaku duduk di kursi ruang tamu bersama suamiku.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Seisi ruangan menjawab seraya menoleh ke arahku.

Seketika aku berjalan cepat, bersalaman satu per satu kepada abi dan kedua ibuku.

"Sehat, Nduk?" Abi membelai punggung kepalaku.

"Alhamdulillah, Bi. Sae." Aku tersenyum memandang Abi. Dan kulihat wajah Abi sangat semringah dan cerah.

"Wah, tambah Ayu, Nduk. Auranya beda." Umi Miftah tersenyum sedikit lebar, memperlihatkan deretan giginya yang kecil dan rapi. Wangi melati selalu menguar dari tubuh ibu tiriku ini.

Aku sedikit tersipu ketika bersalaman dengannya. Selanjutnya, tangan lembut dan hangat ummah yang kurindukan. Rasa dan aroma yang tak mampu kujelaskan. Aroma yang membuat hati damai seketika.

Ummah membelai lembut pipiku ketika aku usai mencium punggung tangannya. Sejenak tadi, ludengar sayup-sayup lantunan doa yang kurindukan ketika bersalaman dengan ummah.

Masyaallah, siang ini hatiku sangat senang. Kedua ibu dan ayahku benar-benar berkunjung setelah tiga bulan aku di sini.

Aku duduk di salah satu kursi yang bersebelahan dengan ummah. Senyum masih saja bertahan di bibir, selaras seperti kebahagiaan yang membuncah di hati.

Kami bercakap-cakap dan berbasa-basi seperti biasa. Hingga ucapan Ummi Miftah membuat hatiku seketika merindukan Zahra. "Kemarin Zahra menanyakanmu. Kapan katanya mau ngirim?"

"Inggih, Mi. Belum sempat. Gus Ali belum bisa mengisi pengajian di pesantren Kiai Fadhil. Masih ada beberapa hal yang harus kami selesaikan di sini."

"Jadi, kapan mulai mengisi pengajian Kitab di Kraton, Nak Bagus?" Abi menoleh ke arah suamiku.

"Insyaallah dua bulanan lagi, Bi. Sehabis liburan bulan Maulid."

Kami terus saja mengobrol. Terjeda oleh kedatangan khadimah yang membawa kopi dan kudapan. Hingga Adzan Dzuhur berkumandang. Dan kami seketika beranjak. Abi menuju Mushola putra bersama Gus Ali. Sementara Ummah dan Umi Miftah, masuk rumah untuk sholat di mushola dalam bersamaku.

(Complete) Jurnal PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang