Suara bangku terjatuh pada dini hari yang cukup hening dan dingin, seketika membuatku tersentak kaget. Aku yang barusan masih membaca dzikir seusai sholat malam, sontak beranjak dan berlari cepat keluar mushola. Membuka pintu belakang dan menuju arah suara yang kuperkirakan berasal dari kelas.
Kebetulan, letak ruang kelas sangat berdekatan dengan rumah. Dan mushola dalam, berada di bagian paling belakang bersebelahan dengan kamar mandi.
Suasana masih temaram. Hanya beberapa lampu saja yang menyala, termasuk lampu-lampu teras ruang kelas. Aku berusaha naik ke teras setelah melepas sandal. Berlari sambil menyelak mukenah agar tak menghalangi langkah kaki.
Melalui cahaya temaram, aku masih bisa melihat keadaan kelas. Dan sungguh betapa terkejutnya aku ketika melihat sesuatu bergerak dan tergantung di ruang kelas. Gerakannya sungguh sangat jelas.
Sebenarnya, ada sedikit rasa gentar. Aku khawatir itu adalah gerakan pencuri. Sebersit sesal karena langsung menuju ke sini, alih-alih membangunkan suamiku, sempat mengusik hati. Hanya saja, kucoba memberanikan diri untuk memeriksanya.
Berbekal bacaan selawat yang tak henti kuucap dalam hati, aku melangkah perlahan. Dan sungguh, aku sangat terkejut dan seketika berlari berteriak sembari berlari, menahan tubuh yang masih meronta dan tergantung di ruang kelas. Sesosok tubuh perempuan.
Dia meronta, seolah-olah tak sudi kupegangi. Tapi, aku tetap berusaha memeganginya sembari terus berteriak. Mengangkat tubuh itu dari bawah, agar tali yang kuperkirakan digunakan untuk menjerat leher, tak sampai benar-benar menekan tenggorokannya.
"Tolong! Siapa saja, segera ke ruang kelas dua!" Suaraku sangat lantang. Dalam keadaan sehening ini, pastilah bisa terdengar bahkan sampai ke halaman depan.
Menit kemudian, beberapa santri putri datang. Salah satu dari mereka menyalakan lampu. Sisanya berlari dan membantuku memegangi gadis yang berusaha gantung diri ini, yang ternyata adalah Khoiriyah. Gadis berwajah murung dan sangat pendiam.
"Kalian, segera ambil bangku! Kamu, ayo bantu aku. Naik ke atas bangku." Aku memberi arahan sembari tetap memegangi tubuh Khoiriyah.
Para santri sangat sigap mendengar arahanku. Tak perlu waktu lama, tubuh Khoiriyah berhasil kami turunkan. Dan bersamaan dengan itu, suamiku datang bersama beberapa santri putra.
"Ada apa, Neng?"
Aku menjawab pertanyaan suamiku dengan isyarat tangan yang terangkat. Beberapa santri putri, segera pergi dari ruang kelas. Karena tadi, mereka datang dalam keadaan tak berhijab. Tentu saja, mereka pasti segera ke sini seketika setelah terbangun.
Khoiriyah masih terbatuk-batuk. Aku memeluk tubuh gadis malang itu. Membelai lembut punggungnya berkali-kali. Dia membalas pelukanku dan terisak.
"Apa yang membuatmu senekat ini, Nak? Istighfar anakku ...! Kami menyayangimu, Nak. Aku ini ibumu. Kamu tak sendiri." Suaraku bergetar. Pelukanku semakin erat. Pun gadis yang kuyakin tengah tertekan ini semakin terisak dan mempererat pelukannya.
***
Aku membimbing Khoiriyah untuk masuk rumah. Sementara suamiku mengawasi beberapa santri putra yang sempat masuk untuk membereskan kelas dan segera keluar.
"Tolong ambilkan kerudung biar bisa dipakai Khoiriyah, ya?" aku meminta tolong kepada seorang santriwati yang kebetulan kutemui. Sementara tanganku masih merangkul pundak gadis malang ini. Berusaha menenangkannya.
"Inggih." Gadis itu berbalik gegas dan berjalan cepat ke salah satu kamar.
"Kamu ikut aku!" titahku kepada salah satu santri lain yang kutemui. Seketika gadis itu mengangguk dan mengekori. "Oh, ya, kamu bisa bikin teh, kan? Tolong buatkan teh hangat satu gelas besar. Lalu segera bawa ke ruang tengah!"
Gadis yang mengekoriku itu, kini berbelok ke arah dapur. Sementara aku meneruskan langkah ke dalam rumah melalui pintu samping.
Kubimbing gadis yang masih menangis ini untuk duduk di sofa. Dan menit kemudian, santri yang kumintai pertolongan untuk mengambil kerudung, sudah datang. Dia menyerahkan kerudung kepadaku, yang segera kuterima dan memakaikannya kepada Khoiriyah.
Aku meminta tolong agar gadis itu mengambilkan bantal di kamar, yang segera diiyakannya. Lantas, kuberikan bantal itu kepada Khoiriyah agar dia mengambil posisi paling nyaman.
Menit kemudian, kulihat suamiku datang dari arah dapur. Aku segera beranjak dan melangkah mendekati. "Mungkin kita hubungi keluarganya, Gus. Biar segera datang."
Dan, tiba-tiba saja, Khoiriyah memekik, "Jangan!"
Membuat kami terlonjak kaget dan seketika menoleh ke arahnya. Gadis malang itu telah berdiri dan menatap nyalang ke arahku. Dia menggeleng pelan. "Saya mohon, jangan!"
Tentu saja, aku segera melangkah ke arahnya dan kembali memeluk gadis malang itu. Membelai lembut punggungnya. "Baik, baiklah. Jika itu yang membuatmu nyaman. Istirahatlah! Kami tak akan menghubungi keluargamu."
***
Jemaah sholat Subuh telah usai dilaksanakan. Kegiatan mengaji, kupasrahkan kepada santri-santri senior untuk mengawasi adik-adik mereka. Sementara aku, kembali lagi ke ruang tengah untuk menemani Khoiriyah, sekaligus bergantian menjaga dengan beberapa santri perempuan yang kupasrahi tadi.
Kulihat gadis malang itu masih memeluk bantal dan mendaratkan kepala ke sandaran sofa. Mungkin, dia tak nyaman untuk berbaring.
Aku melangkah mendekati. Dan, ketika menyadari kedatanganku, Khoiriyah menoleh, lalu segera membenahi posisi.
"Sudah, sudah! Kamu duduk yang nyaman. Oh, ya, kamu belum sholat?" Aku duduk di samping gadis berkulit cokelat itu. Kulihat, matanya sembab.
Dia menggeleng pelan. "Belum, Mbak Ayu."
"Sholat di mushola sini saja, ya? Nanti kalau sudah baikan, kamu bisa kembali ke kamar. Sholat sama teman-temanmu ini." Aku berisyarat kepada dua santri perempuan yang sejak tadi duduk menemani.
Gadis yang sudah sedikit tenang itu mengangguk. "Inggih."
"Ya sudah, tolong ambilkan sarung suci dan mukenahnya Khoiriyah, ya? Kalian juga sekalian bersuci. Lalu sholat di sini!" Aku menoleh kepada dua remaja yang duduk di sisi lain sofa.
Keduanya mengangguk, lantas beranjak. Sementara aku, membimbing gadis malang ini untuk bersuci di kamar mandi kami. Lantas, mengantarnya ke mushola. Dan setelah kedua temannya datang, mereka melakukan sholat jemaah bersama.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
(Complete) Jurnal Pesantren
EspiritualFauziah, perempuan yang baru menikah di usia yang sangat matang, 33 tahun. Dengan pengalaman sebagai ustadzah di pesantren tempatnya menimba ilmu, dia berpikir bahwa kehidupan akan berjalan mudah. Terlebih lagi, ketika tiba-tiba seorang Kiai muda be...